Tidak. Aku harus hidup, pikirnya sambil menggigit bibir, yang seketika terasa asin. Bayangan istri dan anaknya yang bergelimang darah kembali terbayang. Dhanapati menggigil.
Dia terus berjalan. Pedang Api yang lengket di genggaman hanya bisa menyusur tanah, seperti menghitung berapa langkah yang telah dijalani. Ada keinginan yang kuat untuk melepaskan pedangnya. Namun Dhanapati mengusir keinginan itu jauh-jauh. Pedang Api telah menyertai dirinya sejak dia memutuskan menjadi penegak kebenaran. Kalau harus mati, biarlah dia mati dengan pedang di dalam genggaman.
Dhanapati melihat pepohonan seperti berlari. Semak belukar bergerak lembut seperti penari keraton.
Dhanapati menengadah. Sang Surya entah kenapa kini menjadi dua. Dan berubah menjadi empat. Sang Surya juga menari, dan secara aneh berubah menjadi pelangi. Yang meledak menjadi kumparan beraneka warna.
Dan semuanya tiba-tiba menjadi hitam. Yang lebih hitam dari kegelapan…. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H