Ahhh….
Dhanapati kembali menggigil. Pemandangan itu kembali menari-nari di benaknya. Pemandangan sang istri dan putranya yang berselimut darah segar….
Dhanapati melawan, tentu saja. Seperti harimau terluka dia mengamuk. Pedang Api-nya benar-benar mengeluarkan api.
Namun yang dihadapi bukan jagoan biasa. Tujuh lawan yang dihadapi adalah jagoan pilihan Kerajaan Majapahit. Enam di antaranya memiliki kemampuan kanuragan yang setara dengannya. Yang satunya lagi, bahkan memiliki ilmu kanuragan berlipat di atasnya.
Pertempuran berakhir sangat singkat. Berawal ketika dia merasa perih di punggung. Cakar Mayat Beku milik Bayu Segara menghantam. Disusul sodokan Ajian Serat Jiwa dari Brontoseno. Dan tebasan golok milik Ayu Ningrum. Dan hantaman Ajian Waringin Sungsang dari Lembu Kapang…
Dia mengenal ilmu-ilmu itu sama seperti mengenali ilmunya sendiri. Dhanapati berkali-kali melihat ketika mereka latihan. Dia juga beberapa kali melihat langsung bagaimana ilmu-ilmu itu menghajar musuh. Yang dikuasai rekan-rekannya adalah ilmu tingkat tinggi yang telah menggemparkan Jawadwipa selama ratusan tahun.
Namun Dhanapati tak pernah menyangka kalau dia benar-benar akan merasakan kehebatan pukulan itu. Bukan latihan seperti biasa, namun hantaman yang mengincar nyawa!!
“Kami tak akan membunuhmu,” ujar Bhagawan Buriswara ketika Dhanapati terbaring tak berdaya. “Bhayangkara Biru tak pernah membunuh sesama anggota. Biarlah alam yang membunuhmu. Biarlah cacing tanah berpesta pora menikmati tubuh busukmu. Biarlah burung gagak mencabik dagingmu….”
Dan Dhanapati dibiarkan hidup.
***
Dhanapati tersuruk, melangkah limbung. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Sakit yang perih menusuk. Berdenyut berirama, irama kematian.