SANG SURYA bergerak ke arah Barat.
Gerisik dedaunan dan debur ombak terdengar meningkahi senja.
Kiran duduk di samping sebuah bale- bale di dalam pondok kecil di tengah hutan. Di atas bale- bale itu terbaring seorang nenek tua, Mohiyang Kalakuthana yang diantara para pendekar terkenal dengan julukan si Ratu Racun.
Ratu Racun yang -- Kiran menghela nafas -- kini terbaring di situ sebab terkena racun kuat bernama Susmana Halayang, atau Jiwa Melayang.
Racun itu sangat kuat dan hanya beberapa orang saja yang dapat membuat dan menangkalnya. Mohiyang Kalakuthana akan dapat menangkal racun itu seandainya saja dia memakan anti racun buatannya sendiri sebelumnya. Tapi itu tidak dilakukannya hari itu, walau dia memberi Kiran anti racun tersebut untuk berjaga- jaga.
Racun dalam kadar normal akan dapat dengan mudah diatasi oleh Mohiyang. Itulah sebabnya dia tak merasa perlu meminum anti racun. Tapi, Susmana Halayang memang racun istimewa yang bahkan Mohiyangpun tak dapat menghindari efeknya jika dia tak berjaga- jaga dan melindungi diri dengan anti racun sebelumnya..
Kiran menggerak- gerakkan tangannya. Sejak berhasil mengalahkan Rakyan Wanengpati dan Durgadhini dalam pertempuran di dalam hutan dua hari sebelumnya lalu membawa Mohiyang Kalakuthana kembali ke pondok, Kiran hampir tak pernah beranjak dari sisi bale- bale itu.
Sebagai tabib, dia tahu bahwa Susmana Halayang bukan racun biasa. Dan dia berkejaran dengan waktu. Jika tidak, Mohiyang akan terus kehilangan sebagian jiwanya sepanjang hidup. Dia tak akan bisa lagi berpikir dan bertindak sesuai keinginannya sendiri dan akan mudah sekali dikendalikan orang lain.
Dengan keahliannya tentang racun yang begitu tinggi, akan sangat berbahaya jika Mohiyang menjadi mudah dikendalikan, sebab jika yang mengendalikannya berniat tidak baik, keahlian Mohiyang akan bisa dipergunakan untuk merusak seluruh jagad raya.
Kiran tak menginginkan itu terjadi. Maka, dia mengerahkan semua kemampuannya untuk memulihkan Mohiyang.
Warna- warni pelangi yang seakan muncul dari embun tertimpa mentari berpendaran. Kiran menggunakan jurus Wasundari Mahatirta, Air Besar yang Jernih, jurus kelima dari ajian Indradhanu Tirtamarta, Air Kehidupan Berwarna Pelangi, untuk mengobati Mohiyang Kalakuthana.
[caption id="attachment_327951" align="aligncenter" width="288" caption="Gambar: s709.photobucket.com"][/caption]
Senja itu, upayanya membuahkan hasil.
Mohiyang Kalakuthana membuka matanya. Seperti setengah bermimpi, dia memandangi Kiran yang masih terus menggerak- gerakkan tangannya untuk mengobati.
Mohiyang menatap Kiran, yang memahami apa arti tatapan nenek tua itu.
" Susmaha Halayang, " Kiran berkata singkat, memberitahu Mohiyang bahwa sang nenek terkena racun jenis itu.
Mohiyang memejamkan mata sejenak, seperti menghimpun kekuatan. Lalu...
" Bantu aku bangun, cah ayu... " kata Mohiyang.
Kiran berhenti mengobati untuk membantu Mohiyang Kalakuthana duduk. Diambilnya segelas air dari kendi di sudut pondok itu, diminumkannya perlahan pada Mohiyang Kalakuthana.
Mohiyang berusaha berdiri. Kiran tak mencegahnya. Dia sudah tahu, apa yang akan terjadi saat ini. Racun Susmana Halayang hanya akan bisa dipulihkan sepenuhnya jika orang yang terkena racun itu berlaga. Bukan menang atau kalah tujuannya, sebab menang atau kalah, racun itu tetap akan mengalir keluar. Tapi taruhannya memang tetap besar: siapa yang kalah akan harus mewariskan semua ilmu yang dimiliki pada pihak yang menang. Jika tidak, dia akan mati dengan tubuh terbakar.
Dan karena hanya ada mereka berdua disana, tak ada pilihan, mereka berdualah yang harus berlaga.
Kiran sungguh tidak tega. Dia ingin menunda saat itu, menanti hingga Mohiyang Kalakuthana lebih kuat lagi. Dia tak ingin berlaga ketika nenek itu dalam keadaan lemah.
" Tunggulah sejenak, Mohiyang, " bujuk Kiran. " Kita lakukan esok hari saat Sang Surya terbit. "
Mohiyang menggelengkan kepala. Dia ingin melakukannya segera.
***
Tak jauh dari pondok, ada tempat lapang yang bisa digunakan untuk berlaga. Kesanalah mereka menuju.
Mohiyang berdiri sejenak, merentangkan tangan, mengatupkannya, lalu seperti menarik sesuatu dari pujuk dedaunan dan ombak laut di kejauhan. Kiran memahami, dia sedang memulihkan tenaga. Maka Kiran diam menanti.
Matahari bergerak makin rendah ke arah Barat, ada garis berwarna merah di batas laut. Mohiyang Kalakuthana tampak memasang kuda- kuda.
Kinilah saatnya.
Kiran mengatupkan tangan, memberi salam. Mohiyang mengangguk.
Kiran menanti. Dia tak ingin menyerang lebih dahulu. Tujuannya saat ini adalah untuk mengobati, tak lebih. Maka dia akan membiarkan Mohiyang membuka laga itu.
Dan...
Tangan Mohiyang Kalakuthana bergerak dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata. Lalu sedetik, ditujukannya tangan itu kepada Kiran.
Udara panas menghantam dada Kiran. Dia masih tak bergerak. Serangan semacam ini, bisa ditangkal dengan menarik nafas dalam saja.
Mohiyang bergerak lagi. Kiran memahami, semakin sering Mohiyang mengeluarkan berbagai jurus, racun itu akan dengan sendirinya mengalir keluar melalui pori- pori. Maka dia masih diam menanti.
Deg.
Sekali lagi serangan udara panas menghantam. Kali ini tepat di tengah dahi.
Kiran memusatkan pikiran. Mengumpulkan tenaga untuk melawan rasa panas di dahi itu. Cahaya berwarna ungu berpendaran ketika Kiran melawan rasa itu.
Mohiyang bergerak makin cepat, dan makin kuat. Dan tiba- tiba dia berguling mendekat.
Kiran membungkuk. Dia tahu, saat itu akan makin dekat. Dia, atau Mohiyanglah yang akan harus mewariskan ilmu mereka pada yang lain jika salah satu dari mereka kalah. Kiran menarik sebuah selendang dari pinggangnya. Selendang berwarna pelangi.
Dia siap menghadapi Mohiyang sekarang....
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H