[caption id="attachment_327951" align="aligncenter" width="288" caption="Gambar: s709.photobucket.com"]
Senja itu, upayanya membuahkan hasil.
Mohiyang Kalakuthana membuka matanya. Seperti setengah bermimpi, dia memandangi Kiran yang masih terus menggerak- gerakkan tangannya untuk mengobati.
Mohiyang menatap Kiran, yang memahami apa arti tatapan nenek tua itu.
" Susmaha Halayang, " Kiran berkata singkat, memberitahu Mohiyang bahwa sang nenek terkena racun jenis itu.
Mohiyang memejamkan mata sejenak, seperti menghimpun kekuatan. Lalu...
" Bantu aku bangun, cah ayu... " kata Mohiyang.
Kiran berhenti mengobati untuk membantu Mohiyang Kalakuthana duduk. Diambilnya segelas air dari kendi di sudut pondok itu, diminumkannya perlahan pada Mohiyang Kalakuthana.
Mohiyang berusaha berdiri. Kiran tak mencegahnya. Dia sudah tahu, apa yang akan terjadi saat ini. Racun Susmana Halayang hanya akan bisa dipulihkan sepenuhnya jika orang yang terkena racun itu berlaga. Bukan menang atau kalah tujuannya, sebab menang atau kalah, racun itu tetap akan mengalir keluar. Tapi taruhannya memang tetap besar: siapa yang kalah akan harus mewariskan semua ilmu yang dimiliki pada pihak yang menang. Jika tidak, dia akan mati dengan tubuh terbakar.
Dan karena hanya ada mereka berdua disana, tak ada pilihan, mereka berdualah yang harus berlaga.
Kiran sungguh tidak tega. Dia ingin menunda saat itu, menanti hingga Mohiyang Kalakuthana lebih kuat lagi. Dia tak ingin berlaga ketika nenek itu dalam keadaan lemah.