Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 58: Batas Waktu

27 Desember 2014   03:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:23 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CERICIT burung mulai terdengar.

Bunga liar dan rerumputan basah tertimpa embun. Di ujung batas pandang samudera, diantara warna gelap dan gerak ombak, cahaya kuning keemasan mulai muncul.

Pagi menjelang.

Di dalam sebuah hutan di atas tebing di tepi laut, dua pendekar sedang berlaga. Mereka sudah mulai berlaga sejak sebelum Sang Surya tenggelam kemarin, dan belum juga berhenti hingga saat ini.

Kedua pendekar itu, Mohiyang Kalakuthana, yang diantara para pendekar dikenal sebagai si Ratu Racun, melawan Kiran, seorang tabib muda yang sebelumnya diculik oleh Mohiyang atas perintah Ketua Muda. Namun kemudian, Kiran menyelamatkan Mohiyang dan kemudian mengobatinya ketika Mohiyang terkena racun Suksma Halayang.

Racun yang hanya bisa dikeluarkan dari tubuh dengan cara berlaga. Walau dengan tahuran besar. Siapa yang kalah, akan harus mewariskan ilmunya pada pemenang laga. Jika tidak, dia akan mati dengan tubuh terbakar.

Tak ada pilihan, sebab di hutan itu hanya ada Kiran dan Mohiyang, maka Kiranlah yang harus berlaga melawan Mohiyang, yang saat itu sebenarnya belum sepenuhnya pulih setelah terkena racun.

Tapi, ilmu silat Mohiyang bukan ilmu yang dapat diremehkan. Walau kondisinya masih agak lemah, itu tak menghalanginya untuk bisa terus berlaga sepanjang malam.

Peluh bercucuran di kening Mohiyang. Begitu pula di kening Kiran.

Mereka terus mengeluarkan beragam jurus dan ajian.

Mohiyang tampak melompat, menyerang Kiran.

Kiran menunduk, menghindar, lalu berputar.

Sekilas ketika dia berputar, terlihat cahaya berwarna pelangi berpendaran.

[caption id="attachment_386265" align="aligncenter" width="514" caption="Gambar: webneel.com"][/caption]

Di batas langit, Sang Surya bergerak naik. Walau begitu, cahayanya masih samar. Pepohonan dan tumbuhan di dalam hutan masih belum terlihat jelas.

Mohiyang menebarkan pandangan. Dia mengenal hutan ini. Walau tanpa cahaya, dia hafal dimana adanya beberapa tumbuhan yang bisa dimanfaatkan.

Ditemukannya apa yang dicari.

Mohiyang melompat tinggi. Lewat di atas kepala Kiran, dan mendarat di belakangnya.

Kiran berbalik.

Dengan segera dia memahami, mengapa Mohiyang ada di tempatnya berdiri saat itu.

Ada banyak pohon patah tulang di situ.

Pohon berbentuk perdu yang tumbuh tegak, bercabang banyak dan bergetah seperti susu yang beracun. Beragam bagian dari pohon ini dapat digunakan untuk berbagai jenis obat. Batang atau kulitnya dapat digunakan untuk menyembuhkan patah tulang, juga penyakit kulit. Akarnya, biasa digunakan untuk menangkal bisa ular. Daunnya bisa meluruhkan air seni. Sementara itu, getahnya dapat mengeluarkan duri dan digunakan untuk berbagai pengobatan lain. Tapi Kiran juga tahu, getah pohon ini berbahaya jika terkena mata. Bisa menyebabkan kebutaan.

Dengan gerakan cepat, Mohiyang mematahkan beberapa cabang pohon patah tulang ini dan mengibaskannya ke arah Kiran.

Terdorong oleh tenaganya, getah itu mengalir dan memercik ke arah Kiran.

Kiran berjaga. Dia kembali mengeluarkan sebuah kipas dari pinggangnya, hendak menghalau getah- getah itu dengan ajian Vyajana Paramastri ( Kipas Para Bidadari ).

Diangkatnya kipas itu, siap dikibaskan.

Namun belum juga dia mengibaskan kipasnya, Kiran melihat Mohiyang Kalakuthana terbungkuk, terbatuk- batuk dan jatuh ke tanah. Dia mengerang.

Kiran terperanjat.

Dihampirinya nenek tua itu.

" Mohiyang... Mohiyang... " serunya.

Mohiyang masih terbungkuk dan tampak kesakitan. Dia masih terus mengerang, dan diantara erangnya dengan susah payah dia berkata, " Setengah hari. Batasnya setengah hari... "

Kiran tak memahami, mulanya.

Tapi kemudian dia tahu apa maksudnya itu.

Racun Suksma Halayang memiliki kekuatan yang berbeda- beda. Tergantung pada si pembuatnya, hendak dibuat sekuat apa racun itu. Ada racun yang lambat bekerja, ada yang cepat bekerja. Itu akan berpengaruh pada sepanjang apa pendekar yang terkena racun akan harus berlaga.

Rakyan Wanengpati rupanya tak berniat memberikan waktu banyak pada Mohiyang Kalakuthana. Ketika memberinya racun di dalam hutan, diberikannya batas waktu yang pendek untuk mengeluarkan seluruh racun dengan cara berlaga.

Setengah hari saja.

Mohiyang dan Kiran sudah berlaga kurang lebih setengah hari sejak menjelang Sang Surya terbenam kemarin hingga saat ini ketika Sang Surya terbit kembali. Dan racun itu belum seluruhnya keluar dari tubuh Mohiyang. Itu sebabnya dia kembali merasakan nyeri pada tubuhnya. Jika belum seluruhnya keluar pada batas waktu yang ditentukan, tak ada pilihan, dia akan harus berbaring beristirahat. Jika dia terus berlaga, racun itu akan menguat dan merusak tubuh dan jiwanya.

Ini batas waktunya. Mohiyang menyadari hal itu.

Dia juga menyadari, tak ada pilihan lain. Dia harus menyerah kalah pada Kiran.

" Bantu aku berdiri, cah ayu, " katanya pada Kiran.

Kiran mengulurkan tangan.

Mohiyang menyambutnya. Tubuhnya masih agak limbung, tapi dia berusaha berdiri.

" Aku menyerah padamu, " kata Mohiyang pada Kiran.

Kiran menahan nafas. Diam tak berkata- kata.

" Tolong bantu aku mengeluarkan sisa racun ini dari tubuhku, sementara aku berbaring nanti, " kata Mohiyang pada Kiran, " Setelah itu, akan kupenuhi syarat berikutnya. Karena aku kalah berlaga denganmu, akan kuturunkan seluruh ilmuku padamu... "

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun