DUA perempuan itu duduk bersila dalam posisi berhadapan. Dua perempuan dengan perawakan dan paras yang bertolak belakang. Yang seorang berusia senja, dengan rambut panjang yang sebagian sudah memutih. Kulitnya keriput, dengan wajah yang masih memperlihatkan sisa-sisa garis kecantikan semasa remaja.
Yang seorang lagi masih belia. Dengan rambut hitam panjang mencapai pinggang. Perawakannya ramping. Wajahnya cantik, dengan mata berbinar yang seolah memancarkan cahaya.
Perempuan setengah tua itu bernama Mohiyang Kalakuthana. Dunia persilatan mengenalnya sebagai si Ratu Racun, salah satu dari lima ahli racun paling mematikan di dunia, dan tokoh beracun paling berbahaya di Nusantara. Gadis belia itu bernama Kiran, yang semenjak remaja sudah mempelajari bagaimana cara menyembuhkan orang sakit.
Nasib mempertemukan keduanya, seorang ahli racun papan atas dan tabib belia yag jelita. Mereka awalnya bermusuhan, dan kembali lagi-lagi nasib mengubah mereka dengan cara yang aneh.
Kiran baru saja mengeluarkan racun Suksma Halayang dari tubuh Mohiyang. Upaya yang dilakukan Kiran dengan sangat susah payah. Mencoba mengobati seorang ahli racun yang terkena racun bukan hal yang sederhana. Kesalahan kecil bisa membuat yang diobati dan yang mengobati tewas dengan tubuh penuh racun.
Namun Kiran berhasil. Dan sebagai imbalannya, dia kini menerima pelajaran ilmu racun tingkat tinggi.
Awalnya Kiran tak terlalu berminat. Dia adalah tabib, yang bertugas menyembuhkan orang. Kenapa dia harus mempelajari ilmu racun? Namun kemudian, sejemput kesadaran memenuhi benaknya. Ilmu racun itu pada hakekatnya sama dengan ilmu lain. Sebuah ilmu tak akan membuat seseorang menjadi jahat atau baik. Yang menentukan adalah si pemilik ilmu. Dan di tangan seorang tabib, ilmu racun yang paling berbahaya sekalipun bisa menjadi obat. Setidaknya, dengan mengetahui berbagai hal tentang racun, dia akan mudah melakukan aksi pengobatan jika ada ‘pasien’ yang terkena racun.
“...Racun itu seperti air, yang bisa memercik dan bisa mengalir. Dia bisa dikuasai dan menguasai. Dari tinggi menuju rendah, dari tetesan menjadi udara. Kanan adalah kiri namun atas berbeda dengan bawah...” Mohiyang berbisik. Kiran mendengar. Mohiyang sedang memaparkan teori dari ilmu hebat yang dikuasainya.
“...Racun itu seperti api. Membuat hangat dan membuat hangus. Hangat itu ketika arah berbalik dan menjadi tiga. Hangus itu ketika lingkaran api menyatu dalam batas. Racun adalah air, namun racun bukan air. Racun adalah api, namun racun bukanlah api. Panas dan dingin bergerak dalam alunan lima langkah, ke kiri menyatu dan kanan berpisah...”
Kiran mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat. Dan mencatat dalam hati. Mohiyang terus bergumam. Kini terdengar seperti bisikan. Suaranya terdengar bagai lantunan angin yang bertiup di celah daun.
***