Mau diakui atau tidak, mau jujur atau tidak, baik guru maupun siswa khususnya yang berada di wilayah lemah akses jaringan internet, pastilah lebih memilih pembelajaran daring via grup WhatsApp, mengingat secara teknis maupun mekanisme lebih simpel dan tidak banyak menguras kuota.
Dalam sebuah pertemuan, salah seorang guru mengeluh kepada saya akan muridnya yang tahunya hanya absen saja, setelah itu ia tidak aktif lagi di pembelajaran daring grup WhatsApp.
Jadi, ada baiknya jika saya melakukan perbandingan historis dengan pembelajaran daring saat ini yang katanya begitu canggih dan keren, namun bisa jadi nihil output siswa, baik kognisi, afeksi, bahkan psikomotoriknya, dilihat dari sisi efektifitas metode yang dipakai.
Sebab, sebagaimana menurut Max Siporin (1975) yang dimaksud metode adalah sebuah orientasi aktifitas yang mengarah pada tujuan-tujuan dan tugas-tugas nyata.
Subjek perbandingannya yang saya ambil di sini adalah, metode pembelajaran dari Sekolah Rakyat Tempo Dulu, sedangkan koresponden yang saya wawancarai adalah kakek saya sendiri.
Saya: "Lato (baca Bugis: Kakek) itu dulu waktuta sekolah, pakai apaki menulis?."
Kakek: "Pakai kapur nak."
Saya: "Kertasnya iyya?."
Kakek: "Buka kertas kita pakai dulu, tapi batu."
Saya: "Dehh.. batu astaga.!"
Kakek: "Iyo batu nak, jadi itu gurua kalau sudahmiki na ajari disuruhki hapuski lagi, tapi ada mentong batu khususna, bukan batu gunung. Hahaha."