Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Penulis - Masih Belajar Menjadi Manusia

"Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan." Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mohon Banget, Bedakan Antara Peminum Kopi dan Penikmat Kopi

27 Januari 2020   13:34 Diperbarui: 27 Januari 2020   19:28 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Sebagaimana mahasiswa yang lain, kopi atau tepatnya segelas kopi adalah bukti Tuhan untuk meyakinkan makhluk-Nya "Nikmat apa lagi yang kau dustakan?"

Tapi ada kegusaran yang menggerogoti kecemasan saya lebih daripada kecemasan akan jodoh, yaitu susahnya masyarakat kita membedakan antara peminum kopi dan penikmat kopi.

Kegusaran tersebut timbul diawal mulai oleh betapa banyaknya masyarakat yang berkomentar ketika saya ikut ngopi bareng bersama mereka, entah ngopi di warung, di teras tetangga, atau ruang tamu orang tua gebetan yang serem kumisnya minta ampun.

Dan asal Anda tahu saja, bahwa komentar-komentar mereka tidak kalah nyinyir tingkat jagad dengan komentar-komentar negara kesatuan netizen budiman, yang jika boleh saya urai komentar-komentarnya yaitu:

Pertama: "Kenapa sih kalau kamu minum kopi pelit amat?"

Coba diterawang, betapa kadar pelit saya bisa diukur oleh mereka dari aktivitas saya meminum kopi, padahal asal mereka tahu saja, definisi antara "menikmati" dan "meminum" itu sangatlah berbeda di dalam kamus manapun, bukankah saat mereka menghidangkan segelas kopi mereka berkata "silakan dinikmati kopinya daeng".

Kedua: "Nda bisakah itu kopi langsung diteguk saja?"

Dari komentar itu, saya menemukan teori bahwa kapasitas intuisi dan imajinasi masyarakat kita masih rendah, betapa nggak?

Andai kedalaman intuisi dan imajinasi mereka dalam, mereka akan mengerti bahwa menikmati proses meminum kopi itu jauh lebih berharga dan berarti daripada menghabiskannya.

Ketiga: "Dinginmi itue kopimu, nda enakmi itu rasanya."

Masyarakat yang belum tahu membedakan peminun kopi dan penikmat kopi bagi saya tidak jauh beda dan sangat tidak jauh-jauh amat dengan masyarakat yang belum tahu arti sukses sebenarnya, yang lebih sering menilai dari banyaknya gaji yang didapat, sebab mereka tak tahu hakikat enak onani dari sebuah segelas kopi itu apa.

Wahai bapak/ibu di tempat, letak keenakan meminum kopi itu tidak berada pada dingin dan panasnya. Akan tetapi, lebih daripada itu adalah tentang bagaimana kita menikmatinya dengan sungguh-sungguh.

Keempat: "Masih mauko di', muminum kopimu, padahal anu tadi pagimi."

Saat saya mendengar komentar seperti itu, saya yang hanya bisa tertawa dalam hati (entah bagaimana wujudnya ketawa dalam hati, padahal yang ada hanyalah menangis dala hati saat mantan married duluan yah), mungkin karena mereka nggak pernah baca puisi Eyang Sapardi dalam Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari:

"...aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami | yang telah menciptakan bayang-bayang..." bahwa entah pagi atau sore atau malam, semua hanya bayang-bayang (yang tidak berarti) menghalangi penikmat kopi untuk merasakan tiap seduhannya.

Kelima: "Habisimi kopimu cepat, mutumpai ammai sede."

Jujur, itu sebuah fakta yang tidak bisa terbantahkan bahwa bagi banyak penikmat kopi, menumpahkan segelas kopi adalah kewajaran yang sering dinisbahkan masyarakat untuk menyudutkan penikmat kopi agar segera meminum kopinya.

Padahal, dalam menjadi penikmat kopi ada level-level tertentu yang harus dicapai, salah satunya dengan menikmati kopi (dalam waktu yang lama) si penikmati tidak menumpahkan segelas kopinya, itu adalah suatu challenge yang harus lalui, dan jika itu berhasil--gelas kopi habis secara utuh dari penikmatannya sampai kepada tempat pencucian piring. Berarti hal itu dapat dikatakan sebagai sebuah pencapaian.

Keenam: "Habisimi kopimu cepat, banyak itu sebentar kerumuni lalat."

Dari komenter tersebut, semakin meyakinkan saya bahwa masyarakat kita, itu nda hobi membaca literatur yang lebih berfaedah (hobinya sih baca curhat-curhat alay di beranda sepaket dengan rebahan), sebab andai mereka pernah membaca kisah Al-Ghazali yang disebutkan dalam banyak riwayat bahwa beliau masuk surga gara-gara lalat, saya nukilkan sedikit kisahnya bebscuu..:

Setelah Imam Al Ghazali wafat, ada salah seorang yang bermimpi bertemu beliau, kamudian menanyakan bagaimana keadaanya di alam barzakh sana?

Dijawab oleh Al Ghazali, beliau mengaku bahwa ia mendapat kenikmatan bukan karena amaliyahnya di dunia yang berupa karangan kitab atau sebagainya, namun karena lalat.

Dikisahkan, dahulu dunia literasi belum semodern sekarang, jika orang ingin menulis harus menggunakan pena sedang pena tersebut tidak berisi tinta di dalamnya. Cara menuliskan pena itu dengan cara dicelupkan dalam wadah tinta, setelah digoreskan beberapa saat, tinta habis kembali.

Suatu ketika, saat Al Ghazali menulis, tiba-tiba ada lalat yang hinggap, masuk ke wadah tinta dengan maksud ingin minum tinta tersebut. Dengan dorongan belas kasih, Imam Al Ghazali membiarkan lalat itu minum hingga kembali terbang pergi kembali.

Coba bayangkan Al-Ghazali saja seorang ulama besar yang begitu banyak karyanya, masuk surga gara-gara lalat, maka kenapa tidak kami yang ganteng-ganteng berdosa ini, penikmat kopi juga berharap seperti beliau dengan atas belas kasih kami membiarkan lalat-lalat ikut meminum kopi yang kami nikmati dan membiarkannya terbang lagi. Agar kopi yang nikmat ini bukan hanya di dunia kami bisa nikmati tetapi juga di surga nanti.

Jadii...Mohon banget bedakan penikmat kopi dan peminum kopi, kalau tidak bisa peka dengan cara kami menikmati kopi, seenda'nya traktir saja di warkop-warkop ternama.

Udah itu aja, kopi saya yang sudah dari kemarin ini saya buat sekarang dijatuhi kotoran cicak, saya mau menggantinya lagi. Tersenyumlah selalu dan berbahagialah MyLov~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun