Wahai bapak/ibu di tempat, letak keenakan meminum kopi itu tidak berada pada dingin dan panasnya. Akan tetapi, lebih daripada itu adalah tentang bagaimana kita menikmatinya dengan sungguh-sungguh.
Keempat: "Masih mauko di', muminum kopimu, padahal anu tadi pagimi."
Saat saya mendengar komentar seperti itu, saya yang hanya bisa tertawa dalam hati (entah bagaimana wujudnya ketawa dalam hati, padahal yang ada hanyalah menangis dala hati saat mantan married duluan yah), mungkin karena mereka nggak pernah baca puisi Eyang Sapardi dalam Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari:
"...aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami | yang telah menciptakan bayang-bayang..." bahwa entah pagi atau sore atau malam, semua hanya bayang-bayang (yang tidak berarti) menghalangi penikmat kopi untuk merasakan tiap seduhannya.
Kelima:Â "Habisimi kopimu cepat, mutumpai ammai sede."
Jujur, itu sebuah fakta yang tidak bisa terbantahkan bahwa bagi banyak penikmat kopi, menumpahkan segelas kopi adalah kewajaran yang sering dinisbahkan masyarakat untuk menyudutkan penikmat kopi agar segera meminum kopinya.
Padahal, dalam menjadi penikmat kopi ada level-level tertentu yang harus dicapai, salah satunya dengan menikmati kopi (dalam waktu yang lama) si penikmati tidak menumpahkan segelas kopinya, itu adalah suatu challenge yang harus lalui, dan jika itu berhasil--gelas kopi habis secara utuh dari penikmatannya sampai kepada tempat pencucian piring. Berarti hal itu dapat dikatakan sebagai sebuah pencapaian.
Keenam: "Habisimi kopimu cepat, banyak itu sebentar kerumuni lalat."
Dari komenter tersebut, semakin meyakinkan saya bahwa masyarakat kita, itu nda hobi membaca literatur yang lebih berfaedah (hobinya sih baca curhat-curhat alay di beranda sepaket dengan rebahan), sebab andai mereka pernah membaca kisah Al-Ghazali yang disebutkan dalam banyak riwayat bahwa beliau masuk surga gara-gara lalat, saya nukilkan sedikit kisahnya bebscuu..:
Setelah Imam Al Ghazali wafat, ada salah seorang yang bermimpi bertemu beliau, kamudian menanyakan bagaimana keadaanya di alam barzakh sana?
Dijawab oleh Al Ghazali, beliau mengaku bahwa ia mendapat kenikmatan bukan karena amaliyahnya di dunia yang berupa karangan kitab atau sebagainya, namun karena lalat.