Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

SDM Petani PR Besar di Balik Keunggulan Industri Sawit Indonesia

8 Oktober 2019   10:53 Diperbarui: 8 Oktober 2019   11:12 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Industri kelapa  sawit hingga saat ini adalah salah satu andalan Indonesia dalam meraup devisa. Hingga tahun 2018, total pemasukan yang diperoleh dari usaha ini tidak kurang  US$20,54 miliar atau setara Rp289 triliun.   Kontribusi minyak ini hanya kalah dari  dari batu bara yang sebanyak US$ 18,9 miliar atau setara Rp 265 triliun.

Dengan status peringkat dua dalam penghasil devisa tersebut, tak berarti masalah yang dihadapi industri ini jadi lebih ringan. Selain beragam hambatan dan pembatasan yang dibuat oleh sejumlah negara untuk pasar sawit dalam negeri di manca negara, masalah internal khususnya dari pelaku usaha khususnya dari petani perorangan dan kelompok juga tak sedikit.

Salah satu kendala atau  masalah terbesar sawit Indonesia adalah persoalan Sumber Daya Manusia atau SDM). Persoalan ini menjadi penting, karena hingga saat ini, industri perkebunan pohon  jenis akar serabut ini tetap bergantung serta mengandalkan tenaga kerja manusia dalam jumlah banyak.

Pasalnya, jika SDM dan tenaga kerja yang dimiliki kurang mumpuni, maka keunggulan komparatif sekaligus nilai tambah lain  yang dimiliki bisa menjadi sia-sia, atau justru berbalik menjadi boomerang.

Persoalan ini umumnya diketahui banyak terjadi di petani perorangan atau kelompok tani. Jumlah petani sawit mandiri atau kelompok ini mengelola tidak kurang dari 35 persen lahan sawit tanah air, selain BUMN (5 Persen) dan Korporasi swasta (60 persen)

Sudah sejak lama diketahui bahwa kualitas serta kemampuan petani sawit tanah air dalam mengelola kebun mereka yang terbilang rendah. Petani sawit dalam negeri masih kalah jauh produktif dibandingkan dengan Malaysia.

Salah satu dampak dari rendahnya kemampuan tersebut adalah minimnya pengetahuan petani lokal dalam hal penentuan bibit yang berkualitas serta unggul. Sebab pemilihan bibit yang tepat dan benar adalah titik awal untuk mendapatkan hasil dan panen yang maksimal.

Selama ini petani sawit  Indonesia banyak mengandalkan biji sawit mereka dari bibit jatuhan, bukan dari hasil pembibitan, sehingga produktifitas hasil kebun mereka tidak maksimal. Padahal, jika menilik pola kerja perkebunan sawit milik perorangan di Malaysia, jumlah yang bisa dihasilkan dari kebun petani mandiri ini bisa jauh lebih besar.

Untuk itu, para stakeholder sawit dalam negeri, baik pemerintah, asosiasi dan pihak terkait lain tak bisa lepas tangan. Alias maju sendirian dan menikmati secara lebih massif keuntungan yang mereka peroleh dari bisnis ini.

Tak seperti korporasi atau BUMN yang bisa mendapatkan SDM berkualitas dalam memelihara lahan mereka juga modal yang relative besar, para petani  relative kesulitan mendapatkan dua aspek pendukung tersebut.

Karena dengan SDM dan akses pendaanaan yang minim, mereka juga harus menghadapi sejumlah persoalan lain seiring lahirnya aturan baru dari pemerintah terkait penataan lahan seperti yang disyaratkan oleh label ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil)

Untuk itu, asosiasi usaha sawit Indonesia seperti Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) atau Kementerian Pertanian juga KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) perlu proaktif membantu petani dalan memperbaiki tata kelola perkebunan milik perorangan tersebut.

Menurut ketua Gapki selain pendampingan dalam perbaikan  tata kelola kebun (good agricultural practices) menjadi penting karena itu sangat menentukan pada produktifitas yang akan dihasilkan. Selain juga dengan pendampingan, maka peluang petani perorangan, plasma dan swadaya untuk mendapatkan sertifikat ISPO juga bisa lebih mudah.

Sebab dengan mendapatkan sertifikat ISPO, maka akses untuk menjual hasil lahan mereka menjadi sangat terbuka, dan korporasi yang menjadi bapak angkat petani perorangan ini juga mendapat kredit positif.

Dua hal di atas adalah kelanjutan dari peningkatan produksi dan panen Tandan Buah Segar (TBS) yang diyakini lebih banyak karena petani dengan SDM yang lebih mumpuni, sudah mengetahui cara memilih bibit yang baik.

Insya Allah dengan saling berkooperasi, bukan kompetisi, sawit Indonesia akan membawa berkah, bukan musibah seperti yang kerap dituduhkan selama ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun