Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Perlukah Perpres ISPO untuk Petani Sawit Saat Ini?

15 September 2019   23:46 Diperbarui: 15 September 2019   23:58 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu  upaya pemerintah dalam   penerapan prinsip bisnis berkelanjutan atau yang biasa disebut green economy untuk bidang usaha kelapa sawit adalah penerapan label ISPO  (Indonesian Sustainable Palm Oil). Label yang diselenggarakan oleh sejumlah stake holder dan secara operasioanl berada dibawah pengawasan sejumlah kementerian bertujuan untuk memastikan keberlangsungan usaha sawit di tanah air sesuai dengan prinsip-prinsip green economy tersebut.

Sejumlah persyaratan kelayakan sesuai standar ISPO diwajibkan kepada kelompok usaha korporasi, seperti tata kelola perkebunan yang mengikuti aturan pelestarian,  hingga persyaratan legalitas lahan.

Sejak pertama kali diterapkan pada tahun 2009, label ini telah mampu menjalankan fungsi dan tugasnya, khususnya kepada perusahaan atau korporasi. Untuk kelompok ini perpangan tangan pemerintah mampu membuat kelompok usaha bermodal besar ini menjalani apa yang disyaratkan.

Namun hal tersebut belum sepenuhnya bisa diterapkan kepada kelompok atau petani perorangan.

Seperti dinyatakan Ketua Sekretariat Komisi ISPO R Azis Hidayat, penerapan label ini belum sepenuhnya mampu dilaksanakan untuk para petani sawit perorangan tersebut. Itu tak lain karena sejumlah kendala yang harus mereka hadapi, mulai dari permodalan, biaya untuk legalisasi lahan. "Hingga saat ini label ISPO belum sepenuhnya bisa diterapkan untuk para petani mandiri,"kata Aziz dalam salah satu kesempatan.

Saat ini sertitikat ISPO yang dimiliki Koperasi Pekebun Plasma-Swadaya baru 10 sertifikat dengan luas 6.236 ha. Luasan ini baru 0,107 % dari luas total 5,807 juta hektare.

Jumlah ini jauh lebih rendah dari perusahaan perkebunan swasta yang mencapai 4,89 juta ha atau 63% dari luas total 7,78 juta hektar.  

Namun hal tersebut seperti tak menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Itu terlihat dengan munculnya wacana pemerintahan presiden Joko Widodo untuk dalam waktu dekat mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) kewajiban penerapan ISPO untuk kalangan petani.

Perpres yang rencananya akan dikeluarkan sebelum pelantikan periode kedua Jokowi sebagai Presiden RI tersebut tak pelak menimbulkan keresehan banyak kalangan, khususnya dari mereka yang mewakili petani perorangan.

Para pelaku usaha sawit mandiri tersebut kompak dan satu suara tentang rencana tersebut, Menurut mereka ISPO belum bisa diterapkan kepada petani karena saatnya belum tepat dan memberatkan.

Penolakan tersebut muncul karena dibandingkan dengan ISPO untuk korporasi yang berjalan sesuai target, karena legalitas yang dimiliki. Maka kendala utama penerapan untuk kalangan petani ada pada sisi status pengusahaan lahan itu.  Pasalnya, sebagian kebun milik petani perorangan tersebut sebagian besar masih terindikasi kawasan hutan.

Itu sesuai dengan survei Apkasindo di 22 provinsi dan 116 kabupaten/kota perwakilan di seluruh Indonesia mengungkap,  kendala utama dalam memperoleh ISPO adalah legalitas kebun sawit yang masuk kawasan hutan.

Sementara syarat utama ISPO menyebutkan kebun sawit harus berada di luar kawasan tersebut. Pada titik inilah yang menjadi kendala utama mengapa label ISPO sulit diperoleh petani perorangan.

Maka wajar kalau Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung, meminta penundaan Perpres tersebut.  Itu tak lain , karena masalah utamanya bukan pada petani, melainkan penerapan status lahan yang kadang tumpang tindih oleh sejumlah lembaga, yang pada ujungnya justru menempatkan mereka sebagai korbab dari penerapan aturan.

Mengacu pada kondisi tersebut, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali rencana penerbitan Perpres tersebut. Pemerintah sebaiknya turun langsung mencari solusi atas status lahan tersebut. Salah satunya bisa dengan membuat aturan yang membebaskan lahan milik petani tadi dari status terindikasi masuk kawasan hutan, menjadi hutan produksi yang bisa dikelola oleh penduduk.    

Jangan sampai Perpres tersebut yang sebenarnya bertujuan mulia yakni untuk penataan justru berbalik menjadi boomerang kepada jutaan orang yang bergantung hidup pada tananam ini.

 Sebelum Perpres ini dibuat, semestinya pemerintah lebih dahulu membantu petani sawit yang rata-rata mengalami  keterbatasan,  modal serta Sumber Daya Manusia (SDM), bukan dengan penerapan ISPO.

Karena untuk menggiring petani menjadi moder dan berkelas, yang lebih perlu dilakukan adalah melakukan pendampingan, bukan sekedar penerapan label ISPO yang belum perlu dan potensial menghancurkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun