Indonesia adalah negara produsen utama sawit dunia. Sebuah posisi yang suka atau tidak mengandung resiko sekaligus manfaat. Ibarat pisau bermata dua, butuh kehati-hatian dalam mengambil langkah atau strategi. Karena dibalik keunggulan serta manfaat yang sudah diterima, Â ancaman baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, khsusnya dari pihak asing sudah banyak terjadi.
Ancaman tersebut bisa disebabkan oleh sejumlah factor, namun umumnya lebih pada unsur kepentingan  bisnis dan perdagangan. Suka atau tidak isu tersebut  kerap menjadi senjata  tambahan oleh sebuah negara dalam melindungi kepentingan mereka.
Sejatinya, peringatan yang datang, pada dasarnya tak lebih dari pada upaya untuk membendung masuknya  minyak nabati ini serta barang turunannya ke sejumlah negara, khususnya Eropa. Negara-negara yang juga punya produk minyak  yang sejenis, namun diproduksi dari tumbuhan lain yang biayanya tak semurah sawit.
Tak jarang, ancaman yang datang dari negara-negara maju  plus  Amerika tersebut, dibungkus melalui kampanye  tak langsung, seperti masalah Hak Asasi Manusia, Pekerja anak, buruh upah murah, subsidi oleh negara, hingga deforestasi alias penggundulan hutan.
Beragam penjelasan telah berulang kali disampaikan. Bahkan dalam satu kasus hingga harus dibawa ke Sidang WTO, seperti tuduhan pemberian subsidi oleh pemerintah kepada industry sawit dalam negeri. Namun sekali lagi  tuduhan dan kampanye yang rata-rata dimotori oleh negara-negara Eropa tersebut kembali terbukti salah.
Namun demikian, ancaman dan potensi embargo, baik halus maupun kasar tersebut juga telah menyadarkan pemerintah serta dunia usaha untuk mau lebih baik dalam megelola bisnis ini.
Seperti yang ditetapkan oleh PBB dalam  17 tujuan dan 169 capain yang dicantumkan  dalam  SDGs (Sustainable Development Goals), maka para pemangku sawit dalam negeri telah menterjemahkannya dalam sejumlah kerangka aksi dan program.
Salah satu  yang paling penting dalam pengejewantahan SDGs tersebut, adalah pembentukan label  ISPO atau Indonesia Sustainable Palm Oil, sebuah label yang berisi serangkain proses sertifikasi bagi dunia sawit tanah air untuk terlibat secara langsung secara beriringan antara bisnis dan pelestarian lingkungan.
Maka, jika diperhatikan  lebih jauh, label ISPO yang dimilki Indonesia dan bertujuan untuk penataan bisnis sawit yang lebih ramah konsumen dan lingkungan, memiliki paling tidak 9 tujuan yang sama dengan SDGs yang ditetapkan oleh PBB tersebut.  Karena tujuan utama penerapan  label tersebut adalah "memaksa" para stakeholder sawit dalam negeri untuk lebih taat terhadap tata kelola usaha mereka dalam kerangka Bisnis Berkelanjutan
Tak hanya ISPO, pemerintah juga memberlakukan  moratorium sawit yang berlaku sejak tahun 2018, artinya pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit tak lagi diizinkan, meski secara praktek hal tersebut masih belum menggembirakan.
Tidak mudah memang upaya berbenah diri itu dilakukan, beragam tantangan dan kendala kerap dihadapi. Bahkan dalam penerapan kebijakan ISPO, kerap mengalami kendala, tidak sedikit regulasi kedapatan bertumpang tindih dan sulit untuk diterapkan di lapangan.
Maka itu pemerintah dalam dua tahun terakhir menyusn Rencana Aksi Nasional (RAN) Minyak Sawit Berkelanjutan. Berawal dengan pembentukan Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FoKSBI) guna memastikan adanya keselarasan antara Rencana Aksi Nasional (RAN), Rencana Aksi Provinsi (RAP), dan Rencana Aksi Kabupaten (RAK), tak lain guna mempercepat implementasi pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.
Semuanya tak lain adalah, Â demi kesejahteraan rakyat secara lebih merata dan menguntungkan banyak pihak dalam payung SDGs yang ditetapkan oleh PBB tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H