Semua pihak dalam negeri tahu, terutama pelaku usahan industry sawit, bahwa ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) adalah sebuah kebijkan dengan maksud untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia. Selain juga untuk meningkatkan daya tawar ke pasar Eropa yang cenderung rewel dalam menentukan jenis produk yang akan mereka konsumsi.
Konsep yang mengedepankan tata kelola secara berkelanjutan ini tak bisa hanya dipandang secara pendekatan ekonomi belaka. Karena dibalik geliat ekonomi dibalik licinnya minyak ini masih ada sejumlah tanggungjawab lain yang diemban, Â seperti masalah lingkungan yang kerap disuarakan oleh pegiat social. Padahal masalah utamanya bukan pada lingkungannya.
Fakta-fakta ini yang banyak dilewatkan oleh para pengusung alam tersebut yang umumnya berasal dari sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO baik dalam dan luar negeri.
Keberadaan ISPO sebagai upaya pemerintah dalam mendapatkan cap usaha kelapa sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan belum dilihat  mayoritas NGO itu sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam tata  kelola usaha ini di Indonesia. Padahal ISPO ini adalah cara Indonesia memperbaiki tata kelola bisnis sawit berkelanjutan di dalam negeri agar sesuai dengan keinginan konsumen eropa.
Namun setelah proses label ISPO ini mulai berjalan, dimana sawit harus bersertifikat, tudingan baru muncul lagi.. Kali ini dengan ikut serta menyebut RSPO  sebagai label yang bentuk oleh sejumlah negara dan korporasi dunia  atau LSM saja tidak  cukup.
Bagi mereka, Â labet itu hanya berfungsi sebagai alat, dan bukan obat yang penyembuh, Â Tanpa ada komitmen jelas dan disiplin dari pemerintah untuk benar-benar memperbaiki tata kelola industri sawit nasional demi kepentingan bangsa, Â katanya, sistem apapun tak akan menguntungkan.
Pernyataan Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya  seperti dikutip dari laman Mongabay Kamis (10/5/18),  hanya memutar lagu lama  seperti jutaan hektar sawit illegal, sawit merambah taman nasional, pembakaran lahan untuk keperluan penanaman kelasa sawit, perusahaan ngemplang pajak, masyarakat adat tergusur, dll,,, adalah pengulangan atas  kejadian faktualnya sudah berlangsung beberapa tahun lalu.
Â
Ambil contoh
1.  Berita   Kompas, 15 September 2016
2. Kebakaran Lahan Sawit di Rohil Riau Terus Meluas
Sindo News, 16 Agustus 2016
3. Palm oil: who's still trashing forests?
Green Peace, 3 Maret 2016
Semuanya menuduh perkebunan kelapa sawit adalah biang pembakaran. Padahak setelah diselediki, kebakaran bukan disebabkan pembakaran oleh perusahaan, namun cuaca yang ektrim., Â situasi itu terjadi karena suhu ekstrim yang sedang terjadi
Apalagi setelah pemerintah mengeluarkan moratorium perluasan perkebunan sawit resmi berlaku sejak tahun 2018 lalu. Â Maka bisa dilihat berita-berita yang muncul, beralih kepada biodiesel, bukan lagu deforestasi yang kerap disuarakan..
Makanya dengan adanya RED II dan segera disahkan di Parlemen Eropa, Â nuansa lain berbau Eropa akan segera timbyul, seperti pekerja anak, Upah buruh murah,
Tujuannya ya tetap satu, bagaiamana caranya, Ekspor sawit Indonesia yang menyumbang devisa sekian juta dolar tidak mengangkangi minyak nabati dari bunga matahari dan nabati asal kacang kedelai yg menjadi andalan Eropa juga Amerika dan Brasil, tidak keok oleh barang dari timur ini.
Maka segala macam cara serta diplomasi secara zigzag mereka lakoni,, dan Indonesia juga boleh berharap ke WTO jika sampai disidangkan kasus ini, secara diplomatis tentu harus lebih diperkuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H