Kemudian, isu K3 dan kesehatan kerja, yang ini tak hanya terjadi di lingkungan industry sawit, sector lain juga banyak terjadi. Â Lalu ada isu pekerja anak dan tuduhan ini sama sekali tak berdasar karena secara regulasi, pemerintah sudah tegas mengeluarkan larangan.
Di bagian pengupahan, kritik juga kadang muncul dengan tudingan bahwa pengupahan pekerja kebun terlalu rendah, berbanding terbalik dengan jam kerja yang disebut masih tinggi. Padahal untuk masalah ini, semua sudah terjawab oleh aturan  Upah Minimum Provinisi (UMP).  Â
Serta yang ke enam adalah masalah pengawasan pemerintah, hal ini perlu dilakukan untuk membangun upaya kesadaran, supaya tingkat kesadaran para pekerja di perkebunan kelapa sawit lebih membaik dan potensi kecelakaan kerja bisa diminimalisir.
Maka, jika pihak asing itu mau lebih membuka mata dan membaca kenyataan lapangan terhadap apa yang telah dilakukan pemerintah, baik melalui regulasi atau standarisasi label, kritik tersebut sepertinya tidak perlu muncul.
Namun semua itu kembali lagi ke pangkal masalah, bahwa kampanye-kampanye yang dilakukan itu tak lain dan tak bukan adalah cara negara-negara tersebut menghambat masuknya hasil industry ini ke wilayah mereka yang secara nilai ekonomis jauh lebih menguntungkan. Sementara pada saat bersamaan, upaya itu juga untuk melindungi usaha minyak nabati jenis lain, seperti kedelai dan bunga matahari yang menjadi andalan mereka namun secara ekonomis tak bisa mengungguli kelapa sawit, baik dari segi produksi maupun penggunaan lahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H