Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menakar Peluang Kelapa Sawit sebagai Bioenergi Masa Depan Indonesia

5 April 2019   03:19 Diperbarui: 5 April 2019   04:16 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Indonesia tak bisa hanya terpaku sebagai produsen utama minyak kelapa sawit dunia dan mengandalkannya pola dagang konvensional seperti yang selama ini sudah dijalankan dalam memasarkan produk non migas andalan ini.

Tantangan perdagangan internasional yang berkelindan dengan konflik kepentingan  antara satu negara dengan negara lain, serta beragam kepentingan bisnis yang melatari, telah menjadi pelajaran bahwa kepentingan satu negara atau blok perdagangan tetap menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa menghanguskan.

Rencana Uni Eropa hendak melarang BBM dari biosolar atau sawit masuk ke kawasan itu melalui rancangan RED II yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa, adalah bukti bahwa status sebagai produsen utama dan dominan, tak selalu berbuah keuntungan.

Rancangan Komisi Eropa tersebut tak lebih dari sekedar taktik perang dagang, atau upaya proteksionisme terselubung. Pasalnya, minyak nabati sejenis sawit yang dikeluarkan benua tersebut seperti Bunga matahari dan kacang kedelai kalah ekonomis disbanding sawit.

Belajar dari rencana pelarangan itu, pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu mempertimbangkan langkah  progresif dengan menyiapkan kerangka kerja berbeda  untuk bisnis ini, yang tujuannya tetap sama. Menjadikan kelapa sawit sebagai leading sector serta tetap menjadi salah satu penyumbang utama devisa negara.

Pendekatan menyeluruh yang memuaskan semua pihak itu menjadi landasan kerja  utama, karena secara bisnis dan ekologi, usaha perkebunan kelapa sawit ini sudah pasti punya nilai kompetitif lebih, salah satunya menjadi bahan dasar bioenergy baru diluar BBM konvensonal.

Mengapa sawit layak masuk sebagai satu sumber potensi energy baru, karena minyak ini telah diuji dan mampu menggantikan  BBM yang bersumber dari energy fosil.

Program B20 pemerintah hingga green enery atau penggunaan 100 persen minyak nabati sebagai penggerak mesin dan beragam kendaraan lain sudah mulai menunjukkan tanda=tanda positif.

Bahkan rencana  pengolahan minyak kelapa sawit sebagai pengganti avtur,  atau green Avtur  oleh Kementerian ESDM, yang menjadi salah satu kunci penolakan Eropa terhadap minyak sawit  Indonesia, dalam waktu dekat segera direalisasikan.

Maka dapat dibayangkan betapa potensi besar yang dimiliki oleh sawit Indonesia jika mampu mewujudkan sawit sebagai pengganti BBM Konvensional tersebut.  Selain juga berapa banyak devisa yang bisa dihemat jika rencana Kementerian ESDM yang bekerjasama dengan lembaga penelitian ITB tersebut bisa terwujud. Karena dengan green avtur atau juga penerapan B100 yang dicanangkan terlaksana dalam kurun 5 tahun ke depan, Indonesia justru akan menjadi negara eksportir minyak,, bukan lagi net importer BBM seperti yang selama ini terjadi dan kerap membebani APBN pemerintah.

Sehingga menaikkan status sawit sebagai bioenergy masa depan Indonesia, dimana penggunaannya menjadi bagian tak terpisahkan dari gerak dan mobilitas manusia sehari-hari bukan sekedar impian belaka.

Tak hanya itu, oleh sejumlah negara berkembang di Asia dan Afrika, sawit Indonesia diakui juga telah menjadi benc mark mereka dalam rencana pengembangan bioenergy sejenis di negara-negara mereka seperti Uganda di Afrika, serta Pakistan di Asia.

Sehingga dengan pengakuan tersebut, sejatinya pintu pemasaran bioenergy sawit Indonesia ke kawasan tersebut tinggal mengetuk pintu.

Namun  untuk sampai ke tahap tersebut terlebih dahulu sejumlah Pekerjaan Rumah harus dibereskan.

PR yang paling mengganggu adalah cap buruk dari  negara-negara dan LSM asing penentang industry sawit dengan tuduhan bahwa sawit Indonesia  adalah biang kerok kerusakan hutan.

Padahal, kalau diteliti lebih dalam, tak semua lahan sawit merupakan hutan, namun karena peta lahan yang tumpang tindih antar  lembaga pemerintah tak jarang memunculkan dua status berbeda untuk satu lahan yang sama. Satu lembaga menyebut lahan tersebut hutan produksi yang boleh diolah, namun oleh lembaga lain mengatakan lahan serupa adalah hutan yang tak boleh dimanfaatkan.

Pada lahan yang tumpang tindih peruntukan inilah, LSM asing kerap menjadikannya sebagai senjata bahwa industry sawit tanah air tak bisa dianggap telah menjalankan bisnis dalam kerangka  bisnis yang berkelanjutan.

Saat ini dengan total 6 juta hektar lahan di seluruh Indonesia dan potensi ekspor produksi sebanyak 40 juta ton pada tahun 2020 mendatang, maka posisi Indonesia sebagai negara produsen utama sawit dunia sejatinya sudah dominan, meski belum menjadi jaminan. Menyusul wacana yang dimunculkan dalam RED II tersebut.

Karena dengan mengalihkan sebagian ekspor minyak mentah kelapa sawit menjadi bahan baku untuk bioenergy, maka sejatinya itu akan menempatkan Indonesia tak perlu  lagi harus repot menghadapi ancaman Uni Eropa yang hendak melarang peredaraan biofuel sawit ke kawasan tersebut.

Sebab, tanpa harus mencari pasar ekspor baru untuk bahan mentah tersebut, bioenergy dari bahan kelapa sawit ini, sejatinya telah memperkuat ketahanan ekonomi, khususnya dalam masalah kemandirian energy. Karena  jutaan ton kelapa sawit yang tadinya diperuntukan untuk pasar luar negeri, kini bisa terserap seluruhnya  menjadi bioenergy untuk kebutuhan dalam negeri.

Selain itu, pasar menjadi pemain utama dunia untuk energy ini juga terbuka, jika masalah tumpang tindih peruntukan lahan yang menjadi penjawab tudingan perusakan lingkungan mampu diberikan. Sekain juga keberadaan industry kelapa sawit sebagai bisnis yang berkelanjutan sebagai yang dikehendaki  pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) PBB juga  dapat tercapai.

Karena seperti dipahami bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sustainable Development Goals disingkat dengan SDGs adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi, yang salah satunya adalah pelestarian lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun