Tak hanya itu, oleh sejumlah negara berkembang di Asia dan Afrika, sawit Indonesia diakui juga telah menjadi benc mark mereka dalam rencana pengembangan bioenergy sejenis di negara-negara mereka seperti Uganda di Afrika, serta Pakistan di Asia.
Sehingga dengan pengakuan tersebut, sejatinya pintu pemasaran bioenergy sawit Indonesia ke kawasan tersebut tinggal mengetuk pintu.
Namun  untuk sampai ke tahap tersebut terlebih dahulu sejumlah Pekerjaan Rumah harus dibereskan.
PR yang paling mengganggu adalah cap buruk dari  negara-negara dan LSM asing penentang industry sawit dengan tuduhan bahwa sawit Indonesia  adalah biang kerok kerusakan hutan.
Padahal, kalau diteliti lebih dalam, tak semua lahan sawit merupakan hutan, namun karena peta lahan yang tumpang tindih antar  lembaga pemerintah tak jarang memunculkan dua status berbeda untuk satu lahan yang sama. Satu lembaga menyebut lahan tersebut hutan produksi yang boleh diolah, namun oleh lembaga lain mengatakan lahan serupa adalah hutan yang tak boleh dimanfaatkan.
Pada lahan yang tumpang tindih peruntukan inilah, LSM asing kerap menjadikannya sebagai senjata bahwa industry sawit tanah air tak bisa dianggap telah menjalankan bisnis dalam kerangka  bisnis yang berkelanjutan.
Saat ini dengan total 6 juta hektar lahan di seluruh Indonesia dan potensi ekspor produksi sebanyak 40 juta ton pada tahun 2020 mendatang, maka posisi Indonesia sebagai negara produsen utama sawit dunia sejatinya sudah dominan, meski belum menjadi jaminan. Menyusul wacana yang dimunculkan dalam RED II tersebut.
Karena dengan mengalihkan sebagian ekspor minyak mentah kelapa sawit menjadi bahan baku untuk bioenergy, maka sejatinya itu akan menempatkan Indonesia tak perlu  lagi harus repot menghadapi ancaman Uni Eropa yang hendak melarang peredaraan biofuel sawit ke kawasan tersebut.
Sebab, tanpa harus mencari pasar ekspor baru untuk bahan mentah tersebut, bioenergy dari bahan kelapa sawit ini, sejatinya telah memperkuat ketahanan ekonomi, khususnya dalam masalah kemandirian energy. Karena  jutaan ton kelapa sawit yang tadinya diperuntukan untuk pasar luar negeri, kini bisa terserap seluruhnya  menjadi bioenergy untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, pasar menjadi pemain utama dunia untuk energy ini juga terbuka, jika masalah tumpang tindih peruntukan lahan yang menjadi penjawab tudingan perusakan lingkungan mampu diberikan. Sekain juga keberadaan industry kelapa sawit sebagai bisnis yang berkelanjutan sebagai yang dikehendaki  pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) PBB juga  dapat tercapai.
Karena seperti dipahami bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sustainable Development Goals disingkat dengan SDGs adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi, yang salah satunya adalah pelestarian lingkungan.