Mohon tunggu...
pieta dhamayanti
pieta dhamayanti Mohon Tunggu... pacarkecilku.com -

Hidup kita adalah sajak paling sendu dari Tuhan. Fotografi membuatnya nampak romantis.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Film "Ave Maryam": Kompromi Film Festival vs Lembaga Sensor Film

13 April 2019   23:23 Diperbarui: 14 April 2019   14:28 3300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ave Maryam| Sumber: Pratama Pradana Picture

"Saya ingin mengajak kamu keluar mencari hujan di tengah kemarau".

Saya pertama kali menonton film ini tahun lalu, saat meliput acara Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018. Sebagai penyuka film dengan tema isu sosial, buat saya melihat Maudy Koesnaedi, Joko Anwar, dan Tutie Kirana yang muslim dalam simbol-simbol Katolik, tentu saja sangat menarik.

Film ini dibuka dengan nada-nada sunyi dan tempo yang lambat. Anda bisa mendengarkan derit pintu tua, suara sepatu, kecipak air bak mandi saat diciduk, hingga titik-titik hujan menjadi begitu jelas seolah-olah keriuhan hidup di luar sana adalah anomali.

Bersetting di Semarang tahun 1998, film ini menghadirkan jalanan kota Semarang yang sangat khas. Gereja Bleduk, Kafe Spiegel, penjual barang bekas di pasar Sriwedari, dinding-dinding bangunan Belanda yang mengelupas dan tentu saja, Kesusteran dan Katedral Semarang.

Keberagaman dan toleransi ditunjukkan dengan kehadiran gadis kecil berjilbab yang setiap pagi mengantarkan susu dengan sapaan alhamdulillah dan asalammualaikum.

Tone film berubah gradasinya setelah Yosef datang di sebuah malam dengan Suster Monik. "Dia akan di sini untuk mengajar musik hingga natal," ujar Romo Martin.

Ave Maryam bersama Yosef| Sumber: Pratama Pradana Picture
Ave Maryam bersama Yosef| Sumber: Pratama Pradana Picture

Seketika warna-warni cinta menyelinap di antara abu-abunya pakaian suster yang menghias sejak awal film. Untuk hal ini harus berterima kasih pada Ical Tanjung, sang sinematografer. Ical membuat Kota Tua Semarang yang kumuh dan suram menjadi sudut-sudut paling romantis. Atau lebih tepatnya, Pemkot Semarang harus berterima kasih pada Ave Maryam jika setelah pemutaran film ini akan ada banyak paketan wisata bertema Ave Maryam. Dalam dunia pariwisata, length of stay adalah segalanya.

Saya paling suka adegan di mana Maryam dengan dress pink terang berlari menuju mobil yang telah menantinya di bawah cahaya sore yang orange. Saya kenal sudut kumuh itu. Bahkan mungkin, hampir semua fotografer kenal sudut itu. Tapi menjadi seromantis itu?

Ah, saya jatuh cinta. "Itu tone warna yang akan saya pakai jika kelak saya ke Venesia dan memotret kota itu," gumam saya.

Film ini tidak memuat dialog yang begitu banyak. Semua percakapan lebih banyak menggunakan bahasa tersirat daripada tersurat.

Tidak ada yang paham kenapa Maryam: perempuan anggun, lembut, teguh pendirian, berkelas itu tiba-tiba saja mau melanggar jam malam dan berkencan dengan Yosef.

Berapa jumlah perempuan zaman sekarang yang akan luluh hanya karena seorang laki-laki mengucapkan: "Saya ingin mengajak kamu keluar mencari hujan di tengah kemarau?"

Robby Ertanto Soediskam, sang sutradara, mengakui memang selera romantisnya aneh. Keanehan inilah yang menyesap ke tokoh utama: Yosef.

Ave Maryam| Sumber: Pratama Pradana Picture
Ave Maryam| Sumber: Pratama Pradana Picture

Di antara semua ruang sunyi yang diciptakan oleh Robby, sayangnya puncak konflik yang menjelaskan klimaks Maryam-Yosef dipotong oleh badan sensor agar layak tayang di bioskop-bioskop Indonesia.

Pemotongan ini menciptakan ruang hampa pada keseluruhan jalinan cerita film. Sebagian penonton pasti akan bertanya-tanya: "Apa yang terjadi sehingga klimaksnya seperti itu?"

Lantas, apa gunanya kita menonton film jika konflik tidak ada?

Saya kembali teringat percakapan kami, saya dan Robby --sang sutradara- yang waktu itu duduk bersebelahan di bioskop: "Kira-kira filmmu bisa tayang di bioskop ga, mas?"

"Mungkin saja", jawabnya. "Tapi akan ada banyak kompromi mengingat beberapa adegan yang tidak akan lolos sensor. Tapi saya ga berharap setinggi itu. Bisa tayang di JAFF saja sudah senang kok".

Selama 12 menit yang mengubah segalanya itu menjadi krusial karena di sanalah titik balik utama film ini. Jika sedari awal karakter-karakter tokoh dalam film ini digambarkan tunduk dalam nilai agama (lewat kesunyian mereka), maka perubahan dahsyat emosi menjadi unsur penentu sebuah cerita untuk dikatakan kuat atau tidak.

Menurut saya, di sinilah kedewasaan Robby yang biasa membuat film festival berkompromi dengan segala nilai-nilai yang menjadi aturan baku dari Lembaga Sensor Film.

Di sisi lain, bagi penonton yang doyan membaca, ruang hampa ini pastinya akan diisi dengan fantasi liar yang terbersit di benak kalian.

Saya berterima kasih pada Robby karena setelah menonton film ini, saya melihat sudut-sudut Semarang dengan cara-cara yang romantis. Tone-tone yang tidak bakal saya lupa.

Satu lagi, part favorit saya, perjalanan malam dengan mobil melewati Hutan Pinus Mangunan ber-soundtrack lagu begitu mistis. Itu momen yang nyaris sempurna.

Poster Film Ave Maryam| Sumber: Pratama Pradana Picture
Poster Film Ave Maryam| Sumber: Pratama Pradana Picture

Judul: Ave Maryam
Sutradara: Robby Ertanto
Penulis Skenario: Robby Ertanto
Produser: Tia Hasibuan, Robby Ertanto
Pemeran : Maudy Koesnaedi, Chicco Jericho, Tutie Kirana, Olga Lidya, Joko Anwar, Nathania Angela
Genre: Drama
Durasi: 73 menit
Tayang: 11 April 2019
Distributor: Summerland

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun