Film ini tidak memuat dialog yang begitu banyak. Semua percakapan lebih banyak menggunakan bahasa tersirat daripada tersurat.
Tidak ada yang paham kenapa Maryam: perempuan anggun, lembut, teguh pendirian, berkelas itu tiba-tiba saja mau melanggar jam malam dan berkencan dengan Yosef.
Berapa jumlah perempuan zaman sekarang yang akan luluh hanya karena seorang laki-laki mengucapkan: "Saya ingin mengajak kamu keluar mencari hujan di tengah kemarau?"
Robby Ertanto Soediskam, sang sutradara, mengakui memang selera romantisnya aneh. Keanehan inilah yang menyesap ke tokoh utama: Yosef.
Di antara semua ruang sunyi yang diciptakan oleh Robby, sayangnya puncak konflik yang menjelaskan klimaks Maryam-Yosef dipotong oleh badan sensor agar layak tayang di bioskop-bioskop Indonesia.
Pemotongan ini menciptakan ruang hampa pada keseluruhan jalinan cerita film. Sebagian penonton pasti akan bertanya-tanya: "Apa yang terjadi sehingga klimaksnya seperti itu?"
Lantas, apa gunanya kita menonton film jika konflik tidak ada?
Saya kembali teringat percakapan kami, saya dan Robby --sang sutradara- yang waktu itu duduk bersebelahan di bioskop: "Kira-kira filmmu bisa tayang di bioskop ga, mas?"
"Mungkin saja", jawabnya. "Tapi akan ada banyak kompromi mengingat beberapa adegan yang tidak akan lolos sensor. Tapi saya ga berharap setinggi itu. Bisa tayang di JAFF saja sudah senang kok".
Selama 12 menit yang mengubah segalanya itu menjadi krusial karena di sanalah titik balik utama film ini. Jika sedari awal karakter-karakter tokoh dalam film ini digambarkan tunduk dalam nilai agama (lewat kesunyian mereka), maka perubahan dahsyat emosi menjadi unsur penentu sebuah cerita untuk dikatakan kuat atau tidak.