KITA DAN COCID 19: UJIAN INTIMITAS?
 Merayakan pesta iman, kebangkitan Kristus, Paskah kita di tengah derita pandemi global menjadi sebuah kenyataan yang mengharukan, yang tidak dapat kita ringkaskan selain kita harus jalani. Pesan pengnjil Matius yang menarasikan kisah Kebangkitan Yesus (Mat. 28: 1-10) mengajak kita untuk merajut keintiman itu tidak sebatas gerakan personal, melainkan kolektif. Aksi Maria Magdalena yang pergi ke kubur Yesus ditampilkan dalam dimensi komunal, ia bersama Maria yang lain.
Kisah kebangkitan yang sungguh menggambarkan situasi aktual kita. Yesus meminta Maria Magdalena agar tidak menyentuhNya karena Ia belum pergi kepada Bapa. Gambaran yang menampilkan kenyataan yang membingungkan dari sisi manusia. Namun, yang dapat kita petik adalah mengenai inti peristiwa iman akan kebangkitan yaitu pewahyuan keilahian Yesus. Yesus tidak ingin menunjukkan bahwa Ia tidak mau disentuh oleh manusia, namun kebangkitan pertama-tama adalah kesatuan dengan Bapa, kembali kepada persatuan. Yesus yang kembali kepada Bapa tidak meninggalkan manusia. Secara ragawi, tampak ada jarak, namun dalam Roh tidaklah demikian.
GALILEA: LOCUS PERAYAAN Â DALAM DUA DIMENSIÂ
Setelah melalui peristiwa yang menakjubkan, menyaksikan Ia yang bangkit, Magdalena melanjutkan kisah keintimannya lewat aksi nyata sebagaimana diamanatkan oleh Yesus sendiri. Para Murid segera pergi ke Galilea. Di sana Yesus menanti mereka (kita). Maria Magdalena, sekalipun kerinduannya untuk menyentuh Yesus tidak terjawab secara langsung, namun ia tidak menyerah.
Di sinilah menjadi nyata apa yang sering dilantunkan dalam romansa kawula muda: "kita akan mengerti arti rindu hanya dalam jarak yang belum terbayar". Intimitas tidak mati atau selesai oleh momen jarak raga. Sebaliknya, momen itu menjadi proses akumulasi intimitas yang akan ber-corona (bermahkota) pada perjumpaan baru di Galilea.
Galilea, tidak hanya menjadi tempat semaian kepengikutan dua belas murid, melainkan tempat karya publik Yesus yang sekaligus menjadi tempat murid-muridNya dapat mewujudkan intimitas sosio-komunal. Di sana tidak akan ada lagi jarak antara Ia dan para murid. Ia menanti di Galilea, Ia menanti di tempat dan moment di mana kita berusaha menghadirkan intimitas kita kepadaNya lewat sesama.
Derita pandemi yang kita alami, dimana jutaan umat tak dapat mengikuti perayaan paskah bersama di Gereja, dengan seribu kerinduan akan komuni suci, barangkali dapat dilihat sebagai momen ujian intimitas. Kita sedang diuji bagaimana kita menyadari arti kehadiran Kristus, arti dari kenyataan bawha kita telah merasakan Kristus, melihat Kristus yang bangkit, namun terhadang oleh kenyataan lain sehingga tidak dapat langsung menyentuhNya. Kini kita sedang berada di Galilea, dengan terjangan ombak danau yang hebat.Â
Kiranya di sana kita tidak lagi ingin membangunkan Yesus yang menurut kita "sedang tertidur" melainkan, kita dituntut untuk percaya. Percaya, karena kita telah menyaksikan langsung adegan kebangkitan di makamNya. Di Danau itu, masih ada banyak tanya dan keraguan, masih banyak ketidakpedulian, masih banyak kenyataan yang membuat kita merasakan jarak dengan sesama. Yesus yang mendahului kita ke Galilea adalah Dia yang memangkas jarak dan menenangkan amukan danau.
Maria Magdalena telah mengalami semuanya itu. Yesus dan Magdalena, sebuah lukisan dimana Allah tidak hanya sekadar memangkas jarak Magdalena dari jarak dan keterasingan hidup sosial serta menenangkan dia dari amukan tujuh roh jahat, melainkan juga sebuah adegan ejemplar (contoh/teladan) unik bagaimana bergumul di Galilea kita yang sedang sakit oleh banyak hal, terutama oleh pandemi covid 19.
Ini bukanlah moment membuat jarak melainkan moment mengakumulasi intimitas personal dengan Allah dan intimitas sosial dalam gerakan solidaritas kepada sesama. Galilea telah menjadi tempat dua dimensi. Pertama, para-paskah yakni tempat keterpanggilan serta misi sebelum mengalami momen jarak kubur (kebangkitan). Kedua, pos-paskah, tempat perutusan untuk merayakan intimitas setelah kita menyimbak makna jarak dalam kubur kosong dan kita percaya.