Bagaimana riilnya intimitas itu, setiap kita tentu mempunyai intensitas dan bentuk kehadirannya yang berbeda. Namun, barangkali secara umum dapat kita katakan bahwa intimitas terwujud dalam kelembutan, yang melahirkan kekuatan dan keberanian menuju kebangkitan. Hanyan dalam dan melalui kelembutan terjadi dialog dan transmisi keintiman.
BERKACA PADA PENGALAMAN MARIA MAGDALENAÂ
Dalam Yoh. 20:1-19, dikisahkan bahwa pagi-pagi buta, Maria Magdalena pergi ke kubur Yesus seorang diri. Sebuah pemandangan yang tak umum ketika harus kembali kepada pesona tradisi masa itu. Namun, demikianlah yang terjadi ketika energi kehidupan harus mencari arahnya yang sempurna.
Juga menampilkan karakter utama dari keitiman yaitu bersifat personal. Meskipun keintiman itu bermula dari sebuah peristiwa kolektif, namun, transmisi keintiman selalu dalam kadar berbeda setiap orang.
Perbedaan itu terjadi oleh berbagai faktor. Salah satu yang dapat kita baca adalah faktor iman yang didahului oleh sentuhan kehidupan dari inisiatif dan rencana Allah bagi Maria Magdalena. Keintiman yang berkarakter personal inilah yang membuat Maria Magdalena berani pergi seorang diri, pagi-pagi buta, ke kubur Yesus.
Sekali lagi, sebuah adegan kehidupan yang menunjukkan bahwa keintiman itu tidak pernah akan selesai, melainkan akan semakin membuat orang mencari terus menerus dengan menelusuri kabut dan membelah malam menuju paginya. Maria Magdalena terus ingin mencari keintiman dengan Sang Guru.
Energi keintiman ini menarik sekaligus membawanya (dan kita semua) kepada sebuah gerak dan proses berjuang. Tampak pula di sini potret Magdalena sebagai seorang pejuang. Ia mencari keintiman itu dengan menembus "kegelapan pagi buta". Jika ditarik kepada pengalaman intimitas lebih dalam, slide ini menampilkan poin bahwa untuk mencapai sebuah intimitas itu tidak selalu, bahkan jarang diperoleh dari sebuah kondisi yang sempurna.Â
Sebaliknya, pencarian akan intimitas diawali dengan kesadaran diri sebagai ada yang terbatas. Kesadarn akan kontingensi diri sebagai ada yang tidak lengkap (tidak sempurna) membuat kita berusaha mencari kesempurnaan itu lewat keintiman dengan ada yang lain. Karakter Maria Magdalena menjadi tanda bagi semua yang hidup dalam belenggu dan ketidaksempurnaan, terutama ketika ia pernah terpuruk oleh kerasukan roh jahat  dan Yesus hadir mengangkatnya kepada kebebasan (bdk. Luk. 8:2).
Pengalaman pembebasan ini memberi makna baru bagi hidup dan usahanya menjalin keintiman dengan Tuhan. Melalui tatapan, sapaan, dan sentuhan lembut, Yesus menariknya keluar dari kungkungan.
Pengalaman ini dapat pula menjadi tanda kehadiran kebangkitan yang eskatologis. Peranan teologi present melalui pengalaman kebangkitan ini, intimitas semakin terasa kuat dan membuatnya merasa tidak pernah berhenti untuk mencari dan memuaskan dahaga kerinduannya.
Pengalaman kebangkitan dalam intimitas dengan Yesus menjadi topangan semangat dalam menerjang badai sengsara. Ia tidak takut dengan para algojo, di Golgota ia membiarkan dirinya ikut serta dalam penderitaan Yesus. Puncak dari intimitas adalah memberi dalam konsekuensi cinta yang menyerahkan nyawa dalam derita. Yesus menarik Maria Magdalena untuk mencari-Nya walau ia berlangkah menyusuri jalan gelap jiwanya. Gerakan pencarian ini menyadarkan kita bahwa jalinan keintiman kini dan di sini belumlah final; yang sempurna akan terjadi secara paripurna dan selesai dalam visio beatifica.