Bagi saya pribadi, materi-materi berbasis perilaku terpuji seperti toleransi, tenggang rasa, percaya diri, jujur, amanah, hingga berbaik sangka merupakan materi yang membutuhkan banyak alternatif pemecahan masalah, terutama ketika guru menerapkan model pembelajaran berbasis penyelesaian masalah alias problem solving.
Jangankan bicara tentang anak SD, orang dewasa yang sudah paham dengan pengertian "Jujur" dari segi bahasa, istilah, hingga definisi para tokoh saja masih sering berdusta, kan? Ehem.
Maka dari itulah, terkadang model pembelajaran Problem Solving bakal susah mencapai kata "sukses" bila hanya dilakukan di kelas, mengingat insight siswa yang amat bergantung kepada literasi dan pengalaman mereka.
Bila kita merujuk pada penerapan model pembelajaran Problem Solving, maka prosesnya dimulai dari define the problem-brainstrom solutions-pick a solution-implement the solution-review the result.
Namun pada studi kasus yang saya sampaikan di atas, beberapa kali anak SD terganjal di cycle kedua, yaitu brainstrom solutions.
Para siswa jenjang SD dalam kehidupannya punya banyak sekali masalah. Mulai dari pening ketika mengerjakan PR yang sulit, sedang malas piket kelas, hingga minim uang jajan.
Mereka beberapa kali bisa mengatasi masalah mereka sendiri karena kasus tersebut sudah sering dialami. Dengan demikian, ada banyak gagasan, ide, opini, dan teknik jitu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Tapi bagaimana jika siswa diminta untuk mencarikan solusi terhadap masalah yang dialami oleh siswa lain?
Tentu akan banyak alternatif masalah, namun seringkali alternatif masalah yang siswa hadirkan sama persis dengan buku, tersebab mereka belum mengalaminya sendiri.
Kembali lagi seperti kasus ketika saya menanyakan kepada siswa kelas 1 tentang: kenapa perilaku rendah hati kepada orang yang lebih tua itu penting?