Sedihnya, beda keluarga ada macam-macam pula permasalahannya. Ada anak SD yang orang tuanya sibuk bekerja, yang orang tuanya cerai, dan ada pula anak SD yang tinggal bersama neneknya.
Imbas dari keadaan tersebut, anak jadi kurang diperhatikan saat belajar dan tidak jarang orang tua benar-benar berharap kepada pihak sekolah untuk mengajari anak-anak.
Kisah seperti ini mungkin masih termasuk jarang ditemukan di kota, tapi di desa masih banyak. Termasuklah di sekolah tempatku mengajar.
Perhatian dan bimbingan orang tua sangatlah penting bagi tumbuh kembang anak, tapi bagaimana bila orang tua masih belum menyadari betapa pentingnya hal tersebut? Sebagai guru, kita perlu berkali-kali mengingatkan orang tua.
Jika Tidak dengan Sekolah Tatap Muka, Bagaimana Siswa Kami Bisa Belajar Membaca?
Terus terang, aku rasa cukup sulit untuk menemukan sisi efektivitas dari sistem pembelajaran daring bila diterapkan di Sekolah Dasar.
Belum lagi dengan gaya pembelajaran tematik Kurikulum 2013 yang menurutkan materinya banyak tapi hanya berupa poin-poin dangkal. Di masa pandemi, bukan hanya guru, orang tua dan siswa juga bakal kesulitan untuk mencari materi belajar pendukung.
Barangkali para analis kurikulum dan mutu pembelajaran mulai menyadari hal ini, bahwa Kurtilas di masa pandemi sedang menghadapi ujian terberatnya.
Tapi sayang, masih belum terdengar olehku bagaimana kinerja Kurtilas di masa pandemi yang dipublikasikan oleh pemerintah.
Terkhusus materi pembelajaran Bahasa Indonesia kelas I SD misalnya, penyajian materi di buku K-13 langsung berbentuk cerita dengan teks yang cukup panjang. Apakah anak-anak tidak bingung? Padahal semestinya yang disajikan di awal bab adalah materi belajar membaca.
Coba kita lihat di buku KTSP kelas I SD, di sana pelajarannya malah lebih terarah. Pada bab I langsung ditampilkan pelajaran membedakan bunyi "a-i-u-e-o, ai-au-oi" langsung dengan contoh.