Salah satu dasar dari persepi tersebut adalah ungkapan dari psikolog Michele Barton selaku direktur kesehatan klinis di Psychology Life Well yang menerangkan bahwa akan ada belasan hal-hal aneh yang bakal terjadi ketika seseorang sedang marah dan mengomel.
Di antaranya, seseorang malah tidak jujur dengan dirinya sendiri, berubah menjadi orang yang berbeda, pencernaan melambat, tekanan darah meningkat, hingga jatuh sakit.
Jika kita sandarkan ke dalam dunia pembelajaran, secara otomatis mengajar sembari marah-marah dan mengomel di kelas itu bakal membuat seorang guru cepat merasa lelah.
Ujung-ujungnya, efektivitas pembelajaran semakin berkurang. Padahal, jelas-jelas di masa pandemi mewujudkan kegiatan belajar efektif sangat sulit. Tapi, tidak untuk pembelajaran yang menyenangkan.
Maka dari itulah, kita bisa menempuh jalan menuju efektivitas melalui kegiatan mengajar dengan bahagia.
Tapi, kan, pada setiap harinya guru pasti punya masalah? Bahkan siswa juga punya masalah.
Ketika guru sedang enerjik mengajar saja masih ada siswa yang setengah hati memperhatikan, apalagi jika gurunya enggan bahagia!
Sejatinya, saat guru mengajar dengan bahagia, belum tentu semua siswa bisa ikut-ikutan bahagia. Walau begitu, guru perlu menyadari bahwa ada salah satu aspek "Bahagia Itu Mencerdaskan" yang sangat penting yaitu "Fokus pada Kebahagiaan Anak".
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana bisa guru fokus pada kebahagiaan siswa ketika dirinya sendiri saja tidak merasa bahagia ketika mengajar?
Pada akhirnya, mengajar dengan bahagia itu sangat penting walau seperti apa pun keadaannya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H