Mengapa Guru Perlu Menulis di Kompasiana?
Di kala sepi, sesekali aku merenungi perjalananku hari demi hari menulis di Kompasiana. Pada saat itu pula, terlintas sedikit kebanggaan bersama rasa syukur yang penuh dengan kelegaan.
Aku pula terkadang tersenyum ketika membaca tulisan sendiri kemudian membandingkannya dengan skripsi, makalah, hingga setumpuk coretan pena di buku.
Lucu sekaligus memalukan! Hahaha
Dulu, rasa-rasanya aku begitu bangga menjadi biang tanya rekan-rekan kuliah hingga sempat membuka jasa penulis makalah. Tapi ketika kulihat tulisanku waktu itu di hari ini? Amburadul!
Malu sendiri melihat tulisan "diatas" yang semestinya "di atas", pun demikian dengan tulisan "di pisah" yang seharusnya "dipisah".
Dan mungkin, dalam beberapa tahun mengajar sebagai guru honorer aku sudah banyak "dosa" terutama dalam menulis kalimat di papan tulis yang tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.
O ya, satu lagi;
Segunung postinganku di media sosial sejak tahun 2010-2019 juga porak-parik alias centang perenang. Barangkali para stalker yang sering stalking akun medsosku tertawa terkikik-kikik syahdan berguling-guling sampai pusing.
Tapi ya, itulah kehidupan. Semua butuh proses, bahkan mi instan pun tidak akan matang jika enggan engkau keluarkan dari bungkusnya.
Lho, kan bisa direbus beserta bungkus mi bahkan sekardus-kardusnya! Aih, baru baca tulisan ini sebentar saja engkau sudah berdalih. Tenang, Teman. Duduk dulu yang manis, atau rebahanlah dengan elegan.
Mengapa Guru Perlu Menulis di Kompasiana?
Iya, benar. Jikalau dirimu adalah guru, dirimu bisa menulis di mana saja. Di buku tulis, bisa. Di halaman Facebook, bisa. Di papan tulis, bisa. Dan di blog pribadi juga bisa.
Hanya saja, fenomena yang kutemui dalam beberapa bulan terakhir, ada perbedaan yang mencolok antara orang yang memulai menulis di blog pribadi dengan orang yang memulai menulis di blog berjamaah semacam Kompasiana.
Menulis di blog pribadi itu bebas, dan saking bebasnya banyak bloger tak mengerti tentang tata krama.
Laksana tamu singgah yang ke rumah tetangga yang baru pindah, masuknya lewat dapur, lalu dengan seenaknya mengambil sayur sambal lema ikan nila dari kulkas kemudian pergi. Si pemilik rumah baru sadar bahwa lauknya sudah habis ketika membuka kembali isi kulkas.
Hemm, tidak sopan, kan?
Sekarang bisa dibayangkan jika pemeran dari ilustrasi cerita di atas adalah seorang guru. Dan mirisnya, kisah tersebut benar dan nyata adanya. Berdalih memulai menulis di blog pribadi lalu menata semangat, eh, tiba-tiba tulisanku dipindahkan semua ke blog pribadinya. Kan lucu!
Coba kalau guru tersebut menulisnya langsung di Kompasiana (misalnya), sudah pasti dalam hitungan detik akan muncul notifikasi berikut:
Sesuai ketentuan Kompasiana, kami menghapus postingan Anda yang berjudul "ABCDEFGHIJKLMNO" karena Sesuai dengan ketentuan Kompasiana tentang Hak Cipta, kami menghapus artikel ini karena terindikasi menjiplak, mengutip, menyalin-tempel (copy-paste) sebagian atau keseluruhan konten karya pihak lain sebagai milik Anda.
Penggunaan kutipan diizinkan apabila Anda mencantumkan identitas sumber atau ditaut (hyperlink) tertuju ke sumber tersebut. Komposisi kutipan yang diizinkan di Kompasiana ialah sebesar maksimal 25% dari keseluruhan panjang tulisan.
Kompasianer yang melanggar maksimal 5 kali ketentuan di atas, dapat mengalami pembekuan akun.
Terima kasih.
Tim Moderator Kompasiana."
Apa yang guru rasakan jika mendapat pesan tersebut di akunnya? Aku tebak, mau membalas dengan ucapan "Terima Kasih, Min" pun tidak tega. Ada rasa malu, dan yang terpenting adalah rasa pengertian bahwa setiap tulisan itu berharga, bernilai, bahkan punya hak untuk dilindungi.
Bagiku yang saat ini masih semangat (ngakunya) menulis, Kompasiana itu seperti platform yang berisi artikel ilmiah, namun membacanya tidak seberat tulisan di jurnal maupun makalah.
Para "penduduknya" juga ramah, rendah hati, menginspirasi, plus hebat-hebat. Lihat saja, nyaris tidak ada para penulis di Kompasiana yang memajang gelar di depan atau belakang nama akunnya. Mereka benar-benar penganut filosofi padi. Makin berisi, makin menunduk.
Dan terkhusus hal yang paling aku sukai adalah komentar yang ada di berbagai artikel di Kompasiana. Tidak ada kata-kata kotor, apalagi hujatan berupa daftar nama hewan, nama anggota tubuh, hingga berbagai jenis kotoran.
Di media sosial, kata-kata kotor terus berserakan. Kadang guru juga ikut-ikutan, sedangkan para siswa dengan entengnya berucap diksi-diksi nirfaedah. Fenomena tersebut menurutku bukan hanya dosa para pelaku, tapi juga para pengurus medianya.
Padahal kita semua sama-sama tahu bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya. Lisan juga bagian dari akhlak, dan guru punya tanggung jawab memberikan teladan. Tidak hanya lewat mulut, tapi juga tulisan.
Nah, sepertinya tulisan ini sudah mencapai akhirnya. Tapi, kan, aku belum menemukan alasan mengapa perlu menulis di Kompasiana? Misalnya berbentuk poin, atau minimal ada sub judul.
Entah niatnya mau membuat buku, PTK, hingga berbagi ilmu, pengetahuan, dan pengalaman aku rasa hal tersebut tidaklah terlalu perlu ditimbang sana timbang sini. Percuma juga, kan, kalau hanya sebatas niat, padahal menulis itu cukup tinggal tulis.
 Terkadang atau bahkan sering kali, kita tidak butuh banyak alasan untuk mulai menulis.
Aku pula sama, hingga hari ini aku masih mencari alasan pasti mengapa aku harus menulis. Sampai alasan tersebut ditemukan pada suatu hari yang entah kapan, aku akan terus berusaha merangkai kata.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H