Tidak lengkap rasanya jika kita tidak melirik kedua varietas cabai dari sisi panen.
Seperti yang kukatakan tadi, modal besar bakal diikuti panen yang melimpah. Hal ini sering berlaku untuk budidaya cabai hibrida.
Sayangnya, harga cabai di pasaran sering pula lebih "pedas" daripada rasa cabai itu sendiri. Alhasil, para petani malah berkeluh bahwa mereka jarang dapat untung melainkan hanya sebatas pulang modal. Laksana pepatah, gali lubang tutup lubang.
Belum selesai di sana, bersandar dari ulasan BPP Sandaran, frekuensi panen cabai dapat dilakukan 12 -- 20 kali sampai tanaman berumur 6 - 7 bulan bergantung pada pemberlakuan (perawatan cabai).
Namun, kenyataannya di lapangan, kebanyakan cabai hibrida hanya hampu mendulang frekuensi panen sebanyak 8-10 kali saja.Â
Itu jika dipetik merah, jika dipetik hijau, bisa saja lebih minim lagi. Tapi ya, memang sesuai sih, karena produktivitas panennya juga tinggi.
Sedangkan cabai lokal, frekuensi panen normal berada pada rentang 10-12 kali. Makin baik pemberlakuan tanaman, maka frekuensi panennya bisa lebih banyak. Bahkan, ibuku berkisah bahwa dulu kami pernah memanen cabai lokal hingga 16 kali. Wow! Makin pedas rasanya.
***
Bersandar pada 3 alasan utama di atas, rasanya cabai keriting lokal cenderung lebih oke bagi masyarakat yang menjadikan usaha tani sebagai bisnis sampingan.
Seperti halnya keluarga kami yang lebih fokus dengan usaha gula aren dan kopi. Walaupun kedua usaha tersebut sudah cukup menyibukkan, namun kami masih sempat bertanam cabai keriting lokal dan cabai rawit.
Salam.