"Lho, lho, lho... Bukannya lebih mendingan bertanam cabai hibrida? Jelas-jelas buah cabainya besar-besar, produktivitasnya tinggi, dan panenannya menggunung?"
Benar, sih. Kisah tersebut bakal jadi kenyataan ketika cabai hibrida yang kita tanam benar-benar dirawat. Tidak cukup dirawat dengan hati, melainkan juga perlu seirama dengan modal.
Jadi, jikalau dirimu bertanam cabai hibrida dengan sistem PPKM [Pernah Perhatian Kemudian Menghilang], maka bukan hanya hatimu yang menangis. Dompet juga bakal mengernyit karena isinya ludes.
Hemm.
Berarti, mendingan kita bertanam cabai lokal, dong?
Ehem. Tidak secepat itu pula kita merengkuh kesimpulan. Cabai hibrida itu diberi label F1 lho, yang dalam ilmu genetika dikenal sebagai keturunan pertama.
F1 ialah kependekan dari Filius 1 yang artinya benih generasi pertama dari hasil persilangan. Kebanyakan produsennya adalah perusahaan besar. Namanya juga bibit unggul, kan. Disetel se-oke mungkin agar bisa menghasilkan cabai yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Maka dari itulah, dirimu tak perlu heran bin kaget jika melihat ada cabai yang ukurannya besar-besar, tapi tidak pedas. Setelan benihnya memang seperti itu.
Para petani juga banyak yang hasil panen cabai keriting hibridanya melimpah, termasuk salah seorang sahabatku yang sudah lulus sarjana pertanian syahdan memilih fokus untuk bertani dengan dukungan pupuk racikan sendiri.
Aku juga pernah bertanam cabai hibrida dengan fasilitas bedengan mulsa, kira-kira di era 2014-san. Apakah sukses? Tidak. Kami gagal waktu itu, dan ruginya pula cukup besar. Soalnya, kegiatan bertani cabai hibrida waktu itu hanya kami jadikan usaha sampingan.
Berharap buahnya lebat sebagaimana kualitasnya yang F1, eh, malah gagal untung. Hatta, kami malah memilih cabai keriting lokal dan sejauh ini bisa dikatakan berhasil. Nah, berikut ini alasan mengapa bertanam cabai keriting lebih oke untuk bisnis sampingan.
1. Bibit Cabai Keriting Lokal Bisa Diolah Sendiri Secara Turun-temurun
O ya, sekilas hal yang perlu diketahui, cabai hibrida F2 adalah cabai dengan benih hasil turunan dari F1. Di sana ada pemecahan sifat sehingga kualitas benih cabai hibrida F2 berada di bawah kualitas F1.
Jadi, khusus untuk cabai hibrida, pembuatan bibit secara manual tidak disarankan. Mendingkan beli bibit baru. Hehe
Kalau cabai lokal, beda. Meskipun namanya "lokal" alias memiliki kualitas unggul di daerah tertentu, cabai lokal tidak memiliki pemecahan sifat ketika kita olah menjadi bibit.
Dengan demikian, tanaman cabai lokal bibitnya bisa dibuat sendiri dengan kualitas yang sama. Untuk sekelas bisnis sampingan, bukankah untuk ketersediaan bibit kita menjadi lebih irit? Uhuy.
2. Biaya Budidaya Cabai Lokal Lebih Ekonomis
Tambah lagi, cabai hibrida sering "merajuk" jikalau curah hujan terlalu tinggi dan juga "ngambek" panen ketika curah hujan terlalu rendah. Aduhai, untuk bisnis tani sampingan, boleh kukatakan bahwa cabai hibrida ini rewel banget dah!
Beda kisah, eksistensi cabai lokal malah tidaklah "semengerikan" itu. Meskipun buahnya tidak selebat cabai hibrida, namun cabai lokal cenderung lebih tahan banting terhadap cuaca.
Hebatnya lagi, cabai lokal terutama yang kami tanam sekarang lebih "aman sentosa" dari serangan daun keriting bin menguning. Padahal bekal tanamnya cumalah pupuk ayam organik plus urea. Di bedengan biasa pula, tidak menggunakan plastik mulsa.
Kalo hama? Sama saja, sih. Semua tanaman juga bakal tewas jika digerogoti ulat dan tungau. Alhasil, kita tetap butuh insektisida dan fungisida.
3. Masa Panen Lebih Panjang Dibandingkan Cabai Hibrida
Seperti yang kukatakan tadi, modal besar bakal diikuti panen yang melimpah. Hal ini sering berlaku untuk budidaya cabai hibrida.
Sayangnya, harga cabai di pasaran sering pula lebih "pedas" daripada rasa cabai itu sendiri. Alhasil, para petani malah berkeluh bahwa mereka jarang dapat untung melainkan hanya sebatas pulang modal. Laksana pepatah, gali lubang tutup lubang.
Belum selesai di sana, bersandar dari ulasan BPP Sandaran, frekuensi panen cabai dapat dilakukan 12 -- 20 kali sampai tanaman berumur 6 - 7 bulan bergantung pada pemberlakuan (perawatan cabai).
Namun, kenyataannya di lapangan, kebanyakan cabai hibrida hanya hampu mendulang frekuensi panen sebanyak 8-10 kali saja.Â
Itu jika dipetik merah, jika dipetik hijau, bisa saja lebih minim lagi. Tapi ya, memang sesuai sih, karena produktivitas panennya juga tinggi.
***
Bersandar pada 3 alasan utama di atas, rasanya cabai keriting lokal cenderung lebih oke bagi masyarakat yang menjadikan usaha tani sebagai bisnis sampingan.
Seperti halnya keluarga kami yang lebih fokus dengan usaha gula aren dan kopi. Walaupun kedua usaha tersebut sudah cukup menyibukkan, namun kami masih sempat bertanam cabai keriting lokal dan cabai rawit.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI