"Pertama, kita cermati dulu dari segi aturan yang berlaku, tapi kita pertimbangkan juga dari sisi empati. Jangan sampai nanti masalahnya selesai, tapi ada salah satu pihak yang sakit hati."
Makjleb! Kalimat tersebut disampaikan oleh Kepala SD tempatku mengajar tepatnya dua minggu yang lalu saat aku meminta tanda tangan berkas administratif.
Pengalaman kepemimpinan atas lembaga yang bernama sekolah memang tidak pernah bohong. Perjuangan mengembara sebagai bos di sekolah yang satu ke sekolah lainnya sering kali menjadi biang tumpuan bagi seorang kepala sekolah untuk tampil lebih bijaksana.
Terang saja, permasalahan yang dihadapi sebuah instansi pasti beragam dan kompleks. Ending dari permasalahan tersebut sangat bergantung kepada kebijakan kepala sekolah.
Dari sanalah kemudian muncul ungkapan bahwa:
"Kepala sekolahku enak, baik hati."
"Kepala sekolah kami rajin"
"Kepala sekolah kami cerdas"
"Kepala sekolah kami tidak pelit"
Dan lain sebagainya.
Merupakan suatu hal yang lumrah bila penilaian guru yang satu dengan guru lain lain tentang keberadaan kepala sekolah itu berbeda. Namun, jika dinilai secara objektif menggunakan sudut pandang teori, maka leadership-nya seorang kepsek bisa ditilik dari 6 prinsip utama.
Dalam Jurnal Iqro', diterangkan bahwa prinsip utama kememimpinan bos sekolah yang bisa dijadikan panutan adalah melayani, membuat kebijakan/keputusan, teladan, bertanggung jawab, menciptakan budaya kerja sama, dan menghadirkan perubahan.
Syahdan, kalimat pertama dalam artikel ini termasuk dalam prinsip kepemimpinan yang mana?
Benar.. Ialah prinsip mengambil keputusan. Salah satu prinsip jempolan yang bisa diteladani dari kepala sekolahku adalah kemampuannya dalam mengindentifikasi masalah, menganalisis masalah, memilih alternatif terbaik, serta ikut mempertimbangkan empati.
Menurutku, ada masa di mana faktor empati ikut menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Jujur saja, kita ini adalah manusia. Kita bukan robot yang kukuh menjadikan aturan tertulis sebagai satu-satunya pertimbangan. Tapi ya, porsi empati juga harus sesuai dengan "piringnya".
Kepala Sekolah Jempolan dan Pantas Dijadikan Panutan Menurut Versiku
Kebijaksanaan dalam proses pengambilan keputusan sudah diulas, maka izinkan aku untuk kembali bercerita tentang suasana di SD tempatku mengajar.
April 2019 adalah bulan pertama aku mengajar di SD, sedangkan kepala sekolah hanya lebih lama 1 tahun daripadaku. Beliau secara resmi dimutasikan ke SD kami sejak tahun 2018.
Setelah kucermati dan kuamati keadaannya, ternyata sekolah tempatku mengajar sangat minim fasilitas.
Buku utama siswa, kurang. Sinyal internet, benar-benar tidak ada. LCD Proyektor, belum ada. Bahkan alat peraga dan olahraga hanya seadanya.
Aku agak kaget sebenarnya. Sebelum pindah ke SD, aku sempat mengajar di SMP model yang serba lengkap. Siswanya lebih dari 1.000 orang, ada AC, kipas angin, Wi-Fi, hingga fasilitas pelengkap pembelajaran lainnya.
Setelah pindah ke SD, kok berubah total, ya? Kepala sekolah pernah berkisah kepadaku bahwa soal jaringan internet sama sekali belum ada jalan keluarnya bahkan sampai sekarang. Ya sudah, aku pasrah.
Tetapi, memasuki triwulan terakhir tahun 2019, aku malah dibikin kaget oleh kepala sekolah. Ternyata beliau berhasil menghadirkan 2 buah LCD proyektor lengkap dengan layarnya.
Sontak saja aku senang bukan kepalang. Kapan lagi coba, SD yang cukup terpencil dengan total siswa tidak genap 50 punya 2 buah LCD proyektor baru.
Bahkan aku agak sedih sekaligus terharu gara-gara siswa di sana menyebut media conference room ini dengan julukan layar tancap. Hemm. Aku terharu karena layar tancap adalah istilah yang kita kenal sejak tahun 20-an tahun lalu. Pernah kutulis di artikel:
Menurutku, inisiasi kepala sekolah kami dalam menghadirkan LCD Proyektor sebagai salah satu media pembelajaran sangat efektif dan berguna.
Bukankah seorang bos di sekolah adalah untuk menghadirkan suasana belajar-mengajar yang lebih efektif, nyaman, aman, kreatif dan menyenangkan?
Salah satu usaha yang bisa ditempuh kepala sekolah adalah melayani para guru agar mampu lebih luwes, lebih kreatif, dan lebih merdeka dalam mencerdaskan siswa di sekolah.
Lebih dari itu, hal lain yang menjadi alasan mengapa aku menyebut kepala sekolah kami sebagai bos jempolan ialah kesabaran dan kerendahan hati dalam mengajarkan sesuatu yang belum kami ketahui.
Di luar sana, jarang kutemukan kepala sekolah seperti ini. Contoh sederhana; penulisan gelar S.Pd. yang benar itu menggunakan titik setelah huruf "d" dan penulisan NIP yang benar ialah dengan tanpa titik.
Selama ini mungkin banyak dari kita yang kurang peduli terhadap hal spesifik semacam itu, kan? Yang penting ada tanda tangan, ada nomor surat, lalu ada stempel resmi. Selesai.
Tapi, bos kami ternyata tidak. Tanpa perlu menyalahkan, beliau langsung menerangkan tata cara penulisan gelar dan NIP yang benar itu seperti "ini". Bagi orang lain mungkin sepele, tapi bagiku hal semacam itu sangat penting.
Dulu, ketika menjadi ketua di sebuah organisasi kampus, aku menyadari betul bahwa seorang pemimpin itu tidak harus bisa semua, tapi minimal tahu/mengerti akan banyak hal. Hal itu penting untuk menjawab berbagai keresahan tim di dalam sebuah sistem.
Tidak jauh berbeda, kepala sekolah juga demikian.
Kehadiran seorang pemimpin di sekolah bukan agar diikuti maupun dipatuhi seutuhnya oleh para guru dan karyawan. Seperti kata Ralph Nader, fungsi kepemimpinan adalah menghasilkan lebih banyak pemimpin, bukan lebih banyak pengikut.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H