Menurutku, ada masa di mana faktor empati ikut menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Jujur saja, kita ini adalah manusia. Kita bukan robot yang kukuh menjadikan aturan tertulis sebagai satu-satunya pertimbangan. Tapi ya, porsi empati juga harus sesuai dengan "piringnya".
Kepala Sekolah Jempolan dan Pantas Dijadikan Panutan Menurut Versiku
Kebijaksanaan dalam proses pengambilan keputusan sudah diulas, maka izinkan aku untuk kembali bercerita tentang suasana di SD tempatku mengajar.
April 2019 adalah bulan pertama aku mengajar di SD, sedangkan kepala sekolah hanya lebih lama 1 tahun daripadaku. Beliau secara resmi dimutasikan ke SD kami sejak tahun 2018.
Setelah kucermati dan kuamati keadaannya, ternyata sekolah tempatku mengajar sangat minim fasilitas.
Buku utama siswa, kurang. Sinyal internet, benar-benar tidak ada. LCD Proyektor, belum ada. Bahkan alat peraga dan olahraga hanya seadanya.
Aku agak kaget sebenarnya. Sebelum pindah ke SD, aku sempat mengajar di SMP model yang serba lengkap. Siswanya lebih dari 1.000 orang, ada AC, kipas angin, Wi-Fi, hingga fasilitas pelengkap pembelajaran lainnya.
Setelah pindah ke SD, kok berubah total, ya? Kepala sekolah pernah berkisah kepadaku bahwa soal jaringan internet sama sekali belum ada jalan keluarnya bahkan sampai sekarang. Ya sudah, aku pasrah.
Tetapi, memasuki triwulan terakhir tahun 2019, aku malah dibikin kaget oleh kepala sekolah. Ternyata beliau berhasil menghadirkan 2 buah LCD proyektor lengkap dengan layarnya.
Sontak saja aku senang bukan kepalang. Kapan lagi coba, SD yang cukup terpencil dengan total siswa tidak genap 50 punya 2 buah LCD proyektor baru.