O ya, kembali berkisah tentang jodoh, rasanya hari ini selalu lebih menantang menjemput jodoh sendiri daripada dijodohkan. Jujur saja, terkadang kegiatan jodoh-menjodohkan itu malah membuat jengkel bin kesal pelaku utamanya.
Bagaimana tidak kesal, sejak kapan perasaan suka dan cinta itu bisa dipaksakan. Jadi, boro-boro berkisah tentang pernikahan, menebar rayuan pun enggan. Eaaaa!
Ibarat peribahasa tepuk sebelah tangan tidak akan berbunyi, sejatinya perasaan cinta atau sayang tidak mungkin datang dari satu pihak semata.
Jadi, ya, biarpun bagaimana ngebetnya mau menjodohkan, si jomlo yang menolak tetap akan jinak-jinak merpati, tapi ketika sudah dekat terbanglah ia. Kalo kata Bu Yana: Awokawokawokwk.
Sekali lagi kukatakan, bahwa hati seseorang tidak bisa dipaksa. Memang benar bahwa semakin sering berjumpa, semakin kenal, maka semakin besar peluang untuk saling memahami dan saling cinta. Namun, teori tersebut para praktiknya tidak bakal sesempurna itu.
Psikolog Anak, Anna Surto Ariani menerangkan bahwa beberapa orang tua yang menjodohkan anak zaman sekarang karena sangat ingin anak mendapat pasangan yang sesuai kriteria orang tua.
Hanya saja, yang menikah kan bukan orang tua, melainkan anaknya? Nah lho, berarti kriteria calon istri/suami tidak selalu seirama dengan kriteria orang tua sebagai camer. Atau begini; kriterianya mungkin masih sama, tapi calonnya bukan si dia.
Maka dari itulah dikatakan bahwa lebih menantang menjemput jodoh sendiri daripada dijodohkan.
Tapi kalau dijodohkan dan kemudian cocok bin sehati? Ya sudah. Tak perlu kita memperpanjang kisah ini.
Ketika seseorang menjemput jodoh sendiri, dirinya bisa jadi bakal diterpa sejumput rasa putus asa, rasa digantung seraya menunggu kepastian, sulitnya meyakinkan calon mertua, hingga memperbaiki diri supaya dicap "pantas" menjemput.