Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memaafkan Diri Sendiri, Orang Lain, dan Orang yang Malas Membayar Utang

13 Mei 2021   23:07 Diperbarui: 13 Mei 2021   23:17 3637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terkadang tidak perlu menunggu hingga 3 hari untuk memaafkan orang lain meski kesalahannya senantiasa menggores hati hingga bernanah. Tapi, beda kisahnya dengan memaafkan diri sendiri. Bahkan waktu 3 tahun pun belum cukup untuk mengusir sikap mengutuk diri agar segera berlabuh."

Memaafkan Diri Sendiri vs Memaafkan Orang Lain

QS Ali Imran Ayat 134. Diolah dari Canva
QS Ali Imran Ayat 134. Diolah dari Canva

Begitulah. Memaafkan orang lain membuat hati kita lapang. Bahkan, dalam QS Ali Imran: 134 di atas, perbuatan memaafkan orang lain diawali dengan kalimat Alladziina yunfiquuna yang berarti orang-orang bertakwa.

Diterangkan oleh Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin, sejatinya tiap insan punya hak untuk memaafkan atau tidak. Namun, mereka yang melepaskan alias merelakan hak tersebut bakal diganjar takwa oleh Allah.

Dengan demikian, bertulus hati memaafkan orang lain adalah salah satu jalan guna merengkuh surga.

Dan terkhusus pada momentum idulfitri 1442 H, derajat kelapangan hati makin meningkat karena kegiatan memaafkan tidak lagi terbatas dengan keluarga dan kerabat, melainkan juga tetangga hingga orang tak dikenal yang kebetulan berpapasan di masjid, pusara, atau di jalan.

Lebih dari itu, kita yang sudah dewasa dan purna ini pula tak tanggung-tanggung dalam membekali anak-anak untuk meninggikan perilaku maaf. Ya, tidak sedikit modal THR yang dikeluarkan dengan tanpa modus agar anak terbiasa meminta maaf sejak kecil.

Pertanyaannya, mengapa anak kecil diajari untuk meminta maaf terlebih dahulu? Bukannya mereka pula perlu diajar untuk senantiasa memaafkan?

Jawabannya tidak lain ialah karena begitulah adab kepada orang yang lebih tua.

Namun, sayangnya jawaban tersebut terdengar klise karena pada dasarnya setiap insan pasti punya salah. Tidak hanya yang muda, yang tua pula demikian. Dan, bukankah makin tua seseorang maka kesempatannya untuk berbuat kesalahan lebih besar nan banyak?

Nah! Sejatinya meminta maaf tidaklah bersandar kepada tua maupun mudanya umur.

Meminta Maaf. Ilustrasi: Shutterstock via KOMPAS
Meminta Maaf. Ilustrasi: Shutterstock via KOMPAS

Memaafkan orang lain itu mulia, dan meminta maaf kepada orang lain juga mulia plus mendapat bonus pahala. Soalnya, tidaklah mudah untuk membuang gengsi syahdan melantunkan maaf terlebih dahulu. Ehem.

Tapi, sebelum kita lebih banyak berkisah tentang maaf-maafan dengan orang lain, apakah kita sudah ikhlas nan tulus memaafkan diri sendiri?

Wah. Itu pernyataan sulit, kan. Dan gegara pertanyaan tersebut, kita bakal teringat dengan kenangan suram masa lalu.

Mulai dari kejahiliyaan kita di masa lalu, kemalasan, hingga melakukan perbuatan yang membuat orang lain kecewa hingga hari ini.

Bahkan, yang bikin diri sendiri sedih adalah, kesalahan yang diperbuat di masa lalu telah mengubah pandangan orang lain terhadap kita. Hemm, hal itulah salah satu alasan terbesar mengapa terkadang seseorang sangat susah memaafkan dirinya sendiri.

Jika batas waktu memaafkan orang lain hanyalah sampai 3 hari, akan berbeda kisahnya saat kita berusaha untuk memaafkan diri sendiri. Tidak cukup pada idulfitri tahun ini, bahkan kesalahan diri terus terngiang hingga bertahun-tahun.

Kok bisa gitu? Soalnya aku juga sempat merasakannya. Ada segunung penyesalan atas perbuatan yang kulakukan di masa lalu, dan ketika aku kembali mengingatnya, hati ini seakan semakin berkarat.

Maka dari itulah, solusi terbaik untuk rela memaafkan diri sendiri adalah dengan melupakan masa lalu. Butuh waktu sampai bertahun-tahun? Bisa jadi. Meskipun hanya kita yang paham dengan diri sendiri, tak lantas pemahaman itu mampu mengikhlaskan penyesalan di masa lalu.

Lupakan! Itulah solusi terbaik bagiku, bagimu, dan bagi kita. Secara khusus, aku berpegang kepada satu dalil utama yaitu QS Az-Zumar ayat 53.

QS Az-Zumar: 53. Diolah dari Canva
QS Az-Zumar: 53. Diolah dari Canva

Dalil tersebut adalah perintah Allah kepada kita agar bersegera keluar dari belenggu putus asa.

Hebatnya, Allah memanggil kita dengan panggilan sayang Yaa 'ibaadi. Itu panggilan spesial, lho, itu panggilan khusus terhadap yang tersayang. Beda dengan Ya ayyuhannaas atau Ya ayyuhalladziina aamanuu. Keduanya adalah panggilan yang masih umum.

Maka darinya, sudah sepatutnya kita klepek-klepek seraya bergetar hati dan jiwa atas sapaan Allah. Allah saja tidak peduli dengan masa lalu hamba-Nya, masa iya kita enggan keluar dari kurungan kelam masa lalu? Oke, fix! Maafkan diri sendiri, lalu kita mulai berbenah diri.

Diri sendiri sudah, orang lain juga sudah. Hatta, bagaimana kabar memaafkan orang lain yang malas bayar utang?

Wah. Agaknya pembahasan kita mulai berat, ya. Terlebih lagi yang membaca tulisan ini adalah mereka yang berpengalaman. Berpengalaman meminjamkan uang, tapi sampai sekarang tidak kunjung dikembalikan. Hiks

Si peminjam uang bukan lagi malas, melainkan enggan untuk mengembalikan. Terang saja, ketika ditagih pada tanggal perjanjian pembayaran, jawabannya adalah besok.

Ditagih besok, jawabannya lusa, sedangkan ditagih hari Sabtu dan Minggu, jawabannya bank sedang tutup. Buya Yahya mengatakan, orang yang seperti itu ibarat "pergi tanpa bawa sandal".

Hemm. Bahkan ada perilaku peminjang uang yang lebih parah. Di-chat baik-baik via WA, pesan enggak kunjung bercentang biru. Di-japri via messenger, eh, malah diblokir. Bahkan, ada yang sampai mati pun enggan peduli dengan utangnya.

Memangnya ada yang "separah" itu lalai dengan utang? Ada. Seseorang pernah datang kepadaku untuk mengungkap kekesalan sekaligus hukum bagi seseorang yang enggan bayar utang hingga meninggal.

"Sudah ditagih?" Kutanya demikian. "Sudah, pun demikian kepada ahli musibah," begitu jawabnya.

Dia mengaku sangat sulit memaafkan, bukan gegara jumlah utang yang cukup besar melainkan karena susahnya membasuh keringat demi mengumpulkan uang tersebut sebelum kemudian dipinjamkan.

Pertanyaannya, bagaimana bila esok hari kejadian yang sama bakal menimpa diriku dan dirimu? Akankah kita rela memaafkan orang yang malas membayar utang?

Jawabannya pasti iya, tambah lagi ketika kita belum mengalami peristiwa tersebut. Beda kisahnya jika kita sedang atau pernah meminjamkan uang syahdan uang itu tak kembali.

Hukumnya bayar utang itu adalah wajib, bukan? Bahkan pahala orang yang mati syahid pun terhalang gegara utang sebagaimana hadis Nabi:

Amalan Mati Syahid pun tersanggah oleh utang. Dok. Diolah dari Canva
Amalan Mati Syahid pun tersanggah oleh utang. Dok. Diolah dari Canva

Sampai di sini, semakin teranglah fenomena bahwa memaafkan orang yang enggan bayar utang itu lebih berat daripada memaafkan kesalahan orang lain. Tidak banyak orang yang bisa mengikhlaskan utang, apa lagi ketika si peminjam selalu marah-marah ketika ditagih. Hemm.

Tetapi, rasanya kurang etis bila kita menempatkan pihak peminjam tanpa sedikit melirik sang pemberi utang.

Ya, ada prinsip dasar yang perlu dicermati ketika kita ingin meminjamkan utang berupa uang maupun barang kepada orang lain. Apakah itu tentang akad? Belum. Prinsip dasar tersebut adalah lurusnya niat.

Penting untuk mempertanyakan niat di sini, apakah si peminjam benar-benar tulus ingin membantu, atau malah sengaja modus seraya ingin dipandang sebagai penolong alias pahlawan.

Ilustrasi pahlawan penolong. Foto: KOMPAS
Ilustrasi pahlawan penolong. Foto: KOMPAS

Jika si peminjam malah merasa dirinya adalah pahlawan? Aih. Bahaya! Seakan-akan dia telah melampaui Tuhan saja, padahal kita tahu bahwa semua terjadi atas izin Allah, dan hanya Allah sebaik-baiknya penolong.

Maka dari itu, aku mengajak diriku dan kita semua untuk kembali menata niat jikalau pernah atau sedang mengalami kesulitan dalam memaafkan orang yang malas membayar utang.

Sebagai penutup, aku ingin mengutip ceramahnya Buya Yahya:

"Hendaknya kita menjaga niat untuk meminjamkan uang kepada orang lain tulus karena Allah, kemudian wajib bagi kita untuk memberikan tempo. Jangan rusak pahala dari niat yang tulus tadi. Anda tetap sabar, karena Anda sudah terlanjur ingin masuk surga, ingin dapat kemuliaan. Doakan yang terbaik  jangan malah nanti habis pahala, duit hilang, rugi semuanya."

Demikian coretanku di 1 Syawal yang menyejukkan ini. Mari kita tata niat untuk memaafkan diri sendiri, orang lain, dan orang yang malas membayar utang.

Salam.

Selamat Idulfitri 1442 H.
Mohon Maaf Lahir dan Batin Kuucapkan dengan Tulus tanpa Modus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun