Lebaran sebentar lagi, dirimu mau jajan apa?
Mengingat kembali masa di mana diri ini masih "unyu-unyu", maka hal yang terpikirkan ketika lebaran menjelang adalah jajan baju baru, sandal baru, atau sepatu baru.
Namanya juga anak-anak. Sukanya ialah sesuatu yang tampak dan mencolok. Tambah lagi jika anak tadi mulai terhasut oleh cerita teman-teman sekelasnya di sekolah:
"Kau sudah ke pasar apa belum? Aku kemarin sudah ke pasar bersama Mamak dan beli baju 2 stel lho. Aih, di pasar ramai nian kalo siang-siang. Mana panas, pengap, dan haus juga!"
Persis!
Cerita ala anak SD tersebut baru saja kudengar 2 hari yang lalu, tepatnya saat aku ingin mengumpulkan anak-anak dalam rangka bagi-bagi hadiah kegiatan pesantren kilat Ramadan.
Sembari mengumpulkan anak untuk berbaris di lapangan, tidak sengaja kudengar cerita anak-anak tentang pasar dan baju lebaran. Setelahnya, si anak tadi langsung mengubah topik pembicaraan seraya mengajakku ngobrol:
"Pak, boleh dak kalo kami nanti lebaran ke rumah Bapak? Rumah Bapak di mano?"
"Boleh, rumah Bapak di Curup."
"Nduuug ai, jauhnyo Pak."
Hahaha. Batal, deh. Sesaat setelah kuberitahu alamat rumahku, anak-anak langsung lemas karena mereka tahu bahwa waktu tempuh dari SD ke rumahku menyentuh angka 1 jam. Lumayan jauh.
Begitulah cerita anak-anak. Menjelang idulfitri, hari-hari mereka tidak jauh dari kisah masak kue, baju baru, hingga harap-harap akan THR.
Aku pula dulunya demikian. Entah siapa yang pertama kali membawa virus bahwa setiap kali lebaran harus pakai baju baru. Gegaranya, hal tersebut seakan-akan sudah menjadi kebutuhan pokok anak-anak.
H-5 hingga H-1 lebaran, dulunya aku bakal ikut Ibu beli baju baru ke pasar tradisional. Ketika masih SD, kami sering naik ojek bonceng 3. Sedangkan ketika usia SMP-kuliah, aku lebih sering mencari baju baru bersama teman-teman.
Cukup 1 stel?
Tidak. Minimal 2 stel karena biasanya lebaran iduladha tidak beli baju baru lagi.
Di Curup, pasar Bang Mego adalah salah satu pusat perbelanjaan pernak-pernik lebaran yang paling sering aku kunjungi. Tidak siang, tidak sore, dan tidak malam, Bang Mego selalu ramai. Apa lagi ketika malam takbiran, biasanya ada diskon besar-besaran untuk pakaian lebaran.
Sikaaaaat! Borong!
Sedikit berbeda kisah, semenjak aku merantau ke Pekanbaru kemudian pulang lagi ke Curup, aku mulai akrab dengan toko online. Kehadiran beragam marketplace seakan-akan menjadi virus hingga gaya belanja konvensionalku beralih ke online shopping.
Bedanya? Sekilas, jajan online untuk kebutuhan "nafsu" hari raya tidak berbeda jauh dengan jajan di pasar tradisional. Malahan jajan online lebih mudah karena bisa dipesan sembari rebahan.
Tetapi, di sebalik kemudahan tersebut, dompet digitalku mudah bocor dan ada beberapa barang orderan yang hanya kugunakan sehari-dua hari. Sedangkan setelahnya? Hanya mengendap di lemari pakaian. Hemm.
Tidak hanya terkait dengan pakaian untuk tampil "wah" di hari raya, semenjak aku mulai mengajar sebagai guru honorer di kotaku, aku juga mulai sering jajan kue lebaran siap saji. Ya, Ibuku sibuk dan tidak sempat memasak terlalu banyak kue.
Hanya saja, seiring berlalunya waktu, aku mulai merasa bahwa baju baru di hari raya serta kue lebaran  yang beragam jenis dan rasa itu tidaklah terlalu penting. Bahkan, kedua hal tersebut bukanlah esensi dari hari raya. Hemm.
Dulu Aku Terobsesi Beli Baju Baru, tapi Sekarang Lebih Tertarik Menabung untuk Sewa "Tenda Biru"
Hadirnya pandemi Covid-19 telah menjadi pelajaran besar bagiku, terutama dari sisi menekan gaya hidup "semau gue" dan taklid dengan teman-teman. Ya, wabah jahat ini seakan memaksa orang-orang seumuranku untuk lebih jauh memandang ke depan, khususnya dari aspek finansial.
Dan Alhamdulillah, dalam kurun waktu dua tahun terakhir aku sudah merasa lebih mampu untuk menekan hasrat belanjaku yang dulunya tidak keruan.
Dengan seringnya melihat beberapa organisasi menggaungkan kegiatan donasi baju layak pakai, berbagi makanan, hingga sembako, perlahan aku mulai melek diri seraya makin semangat untuk hidup sederhana.
Ya, saat kubuka lemari pakaian, aku kadang merasa ambyar sekaligus takut. Untuk apa baju sebanyak ini, dan semuanya masih bagus-bagus namun jarang dipakai. Bagaimana nanti bila semuanya dihisab?
Jangankan di akhirat, ditanya sekarang saja aku sudah kebingungan menjawab kegunaan dari jajan berlebihan tersebut. Hemm.
Tidak jauh berbeda, persoalan kue hari raya pula demikian. Kami keluarga tani, dan Alhamdulillah banyak kebutuhan cemilan hari raya yang sebenarnya tidak perlu dibeli.
Mau bikin keripik singkong, singkongnya tinggal kita cabut dari batang.
Mau bikin keripik keladi alias talas, talasnya sudah tersedia di belakang rumah. Keripik pisang? Juga demikian. Pisang kepok ada, dan pisang jantan pun ada. O ya, mau bikin manisan juga kolang-kalingnya masih tersedia.
Aku pun berpikir lagi. Ah, ternyata sudah cukup banyak variasinya hidangan cemilan untuk tamu di hari raya.
Gegaranya, saat ini aku lebih tertarik untuk berhemat sembari mempersiapkan diri untuk menyewa "tenda biru".
Sejatinya dalam kurun dua tahun terakhir pengeluaranku semakin banyak. Selain karena tempat mengajarku yang jauh, aku pula masih cukup sibuk menyelesaikan studi yang jaraknya lebih jauh. Tapi, Allah sungguh adil!
Allah berikan aku tambahan rezeki dengan menitipkanku amanah aparatur sipil negara. Jika tidak, mungkin saja aku tidak bisa menuntaskan kuliah karena menggunakan biaya sendiri.
Dan lebih dari itu, keinginanku untuk menikah saat ini perlahan-lahan segera berubah menjadi kebutuhan.
Maka darinya aku harus lebih bijaksana dalam mengelola finansial, mengelola hati, serta mengelola perasaan. Soalnya, sebentar lagi aku bakal menyewa "tenda biru" yang dihiasi indahnya janur kuning.
Okeh, segitu saja, ya. Gaspoool. Semangat menunggu menjemput takdir.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H