Begitulah cerita anak-anak. Menjelang idulfitri, hari-hari mereka tidak jauh dari kisah masak kue, baju baru, hingga harap-harap akan THR.
Aku pula dulunya demikian. Entah siapa yang pertama kali membawa virus bahwa setiap kali lebaran harus pakai baju baru. Gegaranya, hal tersebut seakan-akan sudah menjadi kebutuhan pokok anak-anak.
H-5 hingga H-1 lebaran, dulunya aku bakal ikut Ibu beli baju baru ke pasar tradisional. Ketika masih SD, kami sering naik ojek bonceng 3. Sedangkan ketika usia SMP-kuliah, aku lebih sering mencari baju baru bersama teman-teman.
Cukup 1 stel?
Tidak. Minimal 2 stel karena biasanya lebaran iduladha tidak beli baju baru lagi.
Di Curup, pasar Bang Mego adalah salah satu pusat perbelanjaan pernak-pernik lebaran yang paling sering aku kunjungi. Tidak siang, tidak sore, dan tidak malam, Bang Mego selalu ramai. Apa lagi ketika malam takbiran, biasanya ada diskon besar-besaran untuk pakaian lebaran.
Sikaaaaat! Borong!
Sedikit berbeda kisah, semenjak aku merantau ke Pekanbaru kemudian pulang lagi ke Curup, aku mulai akrab dengan toko online. Kehadiran beragam marketplace seakan-akan menjadi virus hingga gaya belanja konvensionalku beralih ke online shopping.
Bedanya? Sekilas, jajan online untuk kebutuhan "nafsu" hari raya tidak berbeda jauh dengan jajan di pasar tradisional. Malahan jajan online lebih mudah karena bisa dipesan sembari rebahan.
Tetapi, di sebalik kemudahan tersebut, dompet digitalku mudah bocor dan ada beberapa barang orderan yang hanya kugunakan sehari-dua hari. Sedangkan setelahnya? Hanya mengendap di lemari pakaian. Hemm.