Tapi, keesokan harinya? Anak-anak dengan cerdiknya pindah saf dan berkumpul di sudut-sudut tertentu. Lalu…lanjut “perang sarung” lagi.
Sedangkan hari ini, kisah “perang sarung” sudah sangat jarang kutemui. Kuamati, saf belakang sudah semakin sepi oleh anak-anak karena kebanyakan dari mereka lebih memilih perang yang lebih menantang. Ya, perang snap, perang Mobile Legend, perang FF, dan sejenisnya.
Masih ramai sebenarnya, tapi khusus untuk anak-anak di desa yang belum terlalu akrab dengan Smartphone. Seperti contoh, anak-anak di desa tempatku mengajar.
3. Anak-Anak Lebih Banyak Duduk Tasyahud Akhir daripada Sujud
Di desa kami, shalat Tarawih dilaksanakan sebanyak 8 rakaat, syahdan ditambah shalat Witir 3 rakaat. Totalnya 11 rakaat, tidak berat untuk dijalani oleh masyarakat dengan berbagai usia.
Maksimal waktu yang diperlukan hanya setengah jam saja. Jika jam 20.00 shalat dimulai, jam 20.30 sudah banyak jamaah yang otewe pulang ke rumah.
Anak-anak juga demikian. Banyak dari mereka yang sanggup menyelesaikan shalat hingga rakaat terakhir, meskipun tidak jarang darinya yang tertidur pulas di sudut saf.
Tapi, soal tidur, lagi-lagi pengurus masjid tidak mempermasalahkannya. Asalkan mereka tidak ngompol. Hemm.
Malahan, perhatian para pengurus masjid biasanya fokus ke anak-anak yang usil di saf paling belakang. Ya, ada seberkas keanehan bahwa ketika shalat dilaksanakan anak-anak asyik ribut, sedangkan ketika hendak salam, mereka malah diam seraya duduk tasyahud dengan tertib.
Ternyata oh ternyata? Mereka cerdik! Ketika takbiratul ihram mereka berdiri dengan rapi, ketika jamaah mulai sujud rakaat pertama, mereka mulai menggaungkan aksinya dengan membuat kerusuhan di belakang. Agar aman, anak-anak akan duduk tertib jelang salam.
Aih, dasar anak-anak! Memangnya pengurus masjid tidak tahu apa dengan ulah kalian itu!