Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kemarin Pembelajaran Daring Dielu-elukan, Sekarang Pembelajaran Tatap Muka Jadi Idaman

2 April 2021   09:48 Diperbarui: 3 April 2021   05:23 1361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembelajaran Daring. Gambar oleh Jagrit Parajuli dari Pixabay 

"85% negara di Asia Timur dan Pasifik telah melakukan pembelajaran tatap muka secara penuh. Berdasarkan kajian UNICEF, pemimpin dunia diimbau agar berupaya semaksimal mungkin agar sekolah tetap buka atau memprioritaskan agar sekolah yang masih tutup dapat dibuka kembali," ungkap Mendikbud sebagaimana yang dikutip dari laman Kemdikbud.

Hadirnya SKB Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 yang dirilis pada akhir Maret kemarin (30/3/2021) seakan jadi penegas bahwa negeri ini sedang rindu menggelar pembelajaran tatap muka.

Rindu bukan sembarang rindu karena kenyataannya eksistensi wajah pendidikan kita makin senjang, makin timpang, serta makin tidak keruan sebagai imbas dari pembelajaran daring yang tidak maksimal.

Sejatinya bagaimana mau maksimal kalau dari segi akses layanan pendidikannya sendiri masih belum merata.

Jaringan internet lemot, dompet Emak bobrok gegara beli kuota, hingga segenap siswa yang rela mencari tebing tinggi demi mendapatkan akses sinyal internet semestinya menjadi tamparan bagi Mas Mendikbud.

Semakin ke sini, kita perlu semakin menyadari bahwa pembelajaran daring tidak sepenuhnya mampu untuk dijadikan biang harapan peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran.

Dulu Pembelajaran Daring Dielu-elukan

Ilustrasi Pembelajaran Daring. Gambar oleh Jagrit Parajuli dari Pixabay 
Ilustrasi Pembelajaran Daring. Gambar oleh Jagrit Parajuli dari Pixabay 

Awal kehadiran pandemi corona, pembelajaran daring terkesan begitu dielu-elukan. Berbagai aplikasi dan platform belajar online mulai dari GCR, Zoom, Webex, Quiz, Ruangguru, Rumah Belajar hingga sederet LMS lainnya disambut secara meriah.

Sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak jenis pelatihan pembelajaran daring demi meningkatkan kualitas guru dari segi penggunaan teknologi.

Kalimat teknologi adalah "jalan akselerasi kualitas pendidikan" terus bergaungan, sedangkan para guru yang sudah memasuki usia senior mulai terlihat kesulitan beradaptasi.

Ya, jangan salahkan mereka sepenuhnya. Saya sendiri sangat yakin bahwa para guru sudah berusaha secara maksimal. Yang perlu kita sadari bahwa mereka lahir di zaman yang berbeda.

Kecuali guru milenial, ya, itu beda lagi. Dari segi adaptasi, guru milenial cenderung gesit dan cepat akrab dengan teknologi. Sekali lagi, zaman para milenial masih cocok dengan hari ini.

Buktinya? Mas Mendikbud Nadiem pun merupakan generasi yang lahir di era milenial.

Lebih dari itu, "saking naksirnya" dengan pembelajaran daring, pada pertengahan tahun 2020, bahkan Mas Nadiem sempat sesumbar seraya menebar wacana bahwa PJJ berbasis teknologi bakal dipermanenkan.

"Pembelajaran jarak jauh, ini akan menjadi permanen. Bukan pembelajaran jarak jauh pure saja, tapi hybrid model. Adaptasi teknologi itu pasti tidak akan kembali lagi," kata Nadiem dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (3/7/2020).

Sontak saja segenap guru di Bumi Pertiwi heboh. Secara sederhana, wacana tersebut merupakan harapan pendidikan kita di masa depan, tapi secara khusus, momentum penyampaian wacana sangatlah tidak tepat dan terkesan terlampau mengelu-elukan PJJ.

Kenyataannya, kesenjangan kualitas pendidikan di pusat dan daerah masih senjang pada era pembelajaran normal. Sedangkan di era pembelajaran daring, ketimpangan tersebut semakin mengaga.

Maka dari itulah sejatinya kita tak bisa terlalu berharap dengan tuah pembelajaran daring.

Pembelajaran menggunakan teknologi itu hanyalah bagian dari percepatan peningkatan kualitas pendidikan. Dan lebih dari itu, negeri ini masih belum siap baik secara pemenuhan fasilitas dan dari sisi psikologis.

Pembelajarannya daring, tapi sistem penugasannya hanya memindahkan materi ajar dari media cetak ke media digital.

Contoh: Guru memotret soal di buku cetak, lalu mengirimkannya kepada siswa via Whatsapp.

Apakah seperti itu pembelajaran daring yang dielu-elukan? Ternyata tidak.

Bukannya memudahkan, siswa malah makin susah mencerna pelajaran, makin ribet mengisi tugas karena harus melibatkan kuota. Dari sini, direngkuhlah bukti bahwa sebenarnya mindset belajar daring masih perlu diluruskan.

Bahkan, permasalahan daring sebenarnya jauh lebih rumit daripada itu. Jikalau tidak didesain dengan baik, maka bersiap-siaplah kita ditimpa risiko krisis pembelajaran dan lost generation.

Hal tersebut susah untuk dielakkan, terlebih lagi dengan kondisi pembelajaran kita yang masih meraba-raba hingga saat ini.

Lihat saja dengan kehadiran kurikulum darurat yang seakan sudah tidak penting lagi. Syahdan, jangan lupa bahwa kisi-kisi ujian sekolah untuk kelas VI, IX, dan XII itu berisi seluruh bab materi ajar.

Bertolak belakang, bukan? Kurikulum darurat dihadirkan untuk menekankan pembelajaran dari segi esensi. Artinya, fokus mengajar guru adalah tidak untuk menghabiskan bab materi di buku.

Tapi, karena kisi-kisi US yang mencakup seluruh bab dalam buku, otomatis guru punya beban harus mengejar ketuntasan kurikulum, bukan? Nah lho. Gaswat, gaiss! Dengan demikian, kita tak bisa berharap terlampau banyak kepada PJJ daring.

Sekarang Pembelajaran Tatap Muka Jadi Idaman

Murid SD mengikuti simulasi PTM dengan menerapkan protokol kesehatan di SDN 1 Kare, Madiun, Jawa Timur, (14/12/2020). (ANTARA FOTO/SISWOWIDODO)
Murid SD mengikuti simulasi PTM dengan menerapkan protokol kesehatan di SDN 1 Kare, Madiun, Jawa Timur, (14/12/2020). (ANTARA FOTO/SISWOWIDODO)

Hal utama yang ditekankan dalam SKB 4 Menteri adalah implementasi PTM terbatas. Artinya, seiring dengan digencarkannya vaksinasi, sekolah perlu (bahkan wajib) menggelar tatap muka secara terbatas seraya menyesuaikan dengan kondisi sekolah.

Semisal, sekolah A siswanya banyak, maka PTM terbatas bisa digelar secara bergiliran dengan menghadirkan kelas sesi pagi dan sesi siang. Atau, bisa pula dengan sistem 3 hari kelas tinggi dan 3 hari kelas rendah.

Sedangkan terkhusus untuk sekolah yang siswanya sedikit, pihak sekolah bersama gugus tugas Covid-19 bisa memaksimalkan layanan protokol kesehatan dalam menggelar PTM secara penuh.

Sadar atau tidak, lembaga pendidikan seperti TK, PAUD, MI, dan SD-lah yang dirasa paling perlu menggelar pembelajaran tatap muka dalam kondisi terbatas.

Ketika Mas Mendikbud berkisah tentang Learning Loss, risiko Lost Generation, hingga guncangan sisi psikologis siswa sebagai imbas dari kebosanan, sejatinya ketika itu pula kita menyadari bahwa siswa kelas rendahlah yang paling rentan terhadapnya.

Okelah. Secara teori kita bakal bersandar kepada kesimpulan bahwa bimbingan orangtua di rumah menjadi "super-duper" penting untuk dilakukan.

Namun, apakah Mas Menteri tidak sadar bahwa ada sebagian orangtua yang kurang teredukasi dalam memberikan layanan pendidikan?

Mas Mendikbud sendiri yang berkata bahwa jika siswa kelamaan tidak sekolah tatap muka, mereka malah disuruh kerja mencari uang bersama orangtuanya. Alhasil, bukankah hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dari orangtua yang kurang teredukasi?

Ini masalah, dan salah satu jalan keluar idaman dari masalah ini adalah digelarnya pembelajaran tatap muka walau dalam kondisi terbatas.

Lagi-lagi kita harus menyadari bahwa PTM itu tidak tergantikan. Banyak aspek mulai dari pengetahuan, keterampilan, sikap spiritual, hingga sikap sosial yang bisa dibentuk serta dibiasakan oleh guru-guru di sekolah.

Seperangkat perilaku afektif tersebut tidak semuanya bisa didapatkan siswa ketika belajar dari rumah. Maka dari itulah sekarang pembelajaran tatap muka jadi idaman.

Meski sebenarnya kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa kesehatan siswa dan pihak sekolah adalah yang utama, tapi sekurang-kurangnya kita masih bisa meningkatkan derajat kewaspadaan dengan disiplin diri. Toh, disiplin juga adalah bagian dari perilaku belajar, kan?

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun