"Mau menunggu siap di tengah ketidakpastian pandemi, memangnya para guru sanggup?"
Dalam beberapa hari ini, topik diskusi di ruang guru di sekolahku masih sama, yaitu tentang eksistensi pembelajaran tatap muka.
Baik guru senior maupun guru muda saling bertukar kisah sembari menyampaikan perkembangan pembelajaran di kelas.Â
Bahkan, mulai minggu ini kami sudah mulai menerapkan sistem 5 hari sekolah dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Pemda setempat telah memberi keleluasaan, dan pengawas sekolah kami juga meminta agar pembelajaran tatap muka digelar dalam kondisi terbatas.
Lebih dari itu, segenap pendidik yang sudah sertifikasi juga mulai resah jikalau sekolah tak kunjung buka. Ya, rumusnya sederhana. Makin besar gaji, makin besar kewajiban, dan makin besar pula rasa tanggung jawab. Tapi, hal ini khusus bagi guru yang sadar, sih.
Kembali lagi kepada kisah di ruang kerja kami beberapa hari ini, dua orang guru kelas yang bertempat tinggal di dekat sekolah sudah berulang kali ditanyai oleh wali murid.
Mereka menanyakan kapan kepastian sekolah bisa dibuka secara penuh, tidak dengan sistem 3 hari lagi. Salah satu orangtua murid bahkan terang-terangan mengaku bahwa aktivitas harian anaknya "jadi amburadul".
Susah bangun pagi, malas olahraga, malas mandi pagi, apalagi buka buku pelajaran. Iya, sih. Sama. Adikku yang sekarang sudah kelas 3 SMP pula demikian.
Biasanya kami selalu berebutan untuk cepat-cepatan mandi pagi, tapi sekarang aku jadi tidak ada saingan mandi pagi. Soalnya di SMP adikku pembelajaran tatap muka belum dibuka, beda dengan sekolahku.