"Ketika rencana dan harapan tenggelam diterjang kenyataan, segenap suara sumbang putus asa memekik hingga berasa memecah gendang telinga."Â
Rasanya ungkapan yang tertuang dalam kalimat di atas begitu kental dengan aroma putus asa.
Sebenarnya ungkapan tersebut datang dari diriku sendiri, sih. Tepatnya ketika rencana yang kutata sedemikian rupa kandas, alias tak berjalan seirama dengan harapan.Â
Seminggu yang lalu, rencanaku adalah hijrah sementara ke indekos adikku di kota Bengkulu selama 5 hari.Â
Jalan tersebut sengaja aku pilih demi memudahkan petualanganku mendapat "accepted" alias acc dari 2 orang penguji proposal penelitian.Â
Ditambah lagi, di saat yang berbarengan aku pula masih punya tugas mengajar di Kepahiang, maka mau tidak mau jarak 60 KM harus kutempuh dari indekos adikku ke SD.Â
Hampir 2 kali lipat lebih jauh jaraknya. Ketika aku tinggal di Curup, jarak dari tempat tinggalku ke sekolah berkisar 45-47 KM.
Aku kesusahan mengukurnya secara tepat, soalnya spidometer motorku rusak. Di sisi yang sama, aku pula enggan begitu percaya dengan Google Maps. Soalnya beberapa kali aku sempat didustakan. Eh
Meskipun begitu, agaknya motivasiku cukup besar sehingga aku tak begitu peduli dengan jauhnya jarak. Bahkan, lelah maupun gundahnya perjuangan kuliah sambil kerja sudah kuanggap sebagai seperangkat konsekuensi.Â
Susah. Benar-benar susah, kok. Beberapa orang temanku yang dulunya masuk kuliah berbarengan denganku sekarang malah tak berkabar. Padahal, aku sempat cuti 1 tahun gegara berbenturan dengan regulasi pemerintah. Aku kita mereka sudah wisuda, tapi ternyata...Â
Perjuangan mereka hampir putus di tengah jalan. Mudah-mudahan saja mereka segera mampu memotivasi diri seraya melambungkan semangat.Â