Pandemi di Indonesia sebentar lagi hampir "ulang tahun", sedangkan kabar pendidikan kita sebenarnya masih belum baik-baik saja.
Ketika pemerintah sedang sibuk menggaungkan vaksinasi dan pemulihan ekonomi, pemulihan sektor pendidikan jadi kurang fokus untuk digencarkan. Lihat saja sekarang, pemangku kebijakan seakan lebih sibuk mengurusi SKB 3 Menteri tentang atribut yang belum kunjung usai.
Padahal potensi learning loss di tiap-tiap sekolah sudah menganga, bahkan sebagian darinya sudah mengalami anjloknya capaian belajar siswa.
Barangkali di sekolah-sekolah maju fenomena kehilangan kesempatan belajar alias menambah ilmu tidak begitu tampak. Hal tersebut ditengarai oleh pelaksanaan PJJ yang cenderung terfasilitasi. Tapi di sekolah pelosok?
Learning loss sudah menerpa sekolah pelosok bahkan dari sejak awal pandemi hadir di Indonesia.
Beberapa tandanya antara lain, siswa "melupakan" tugas sekolah, target kurikulum tidak tercapai walau standar kompetensi sudah diturunkan, hingga adanya fenomena nilai tugas siswa yang nyaris sempurna di setiap pertemuan gara-gara dikerjakan oleh orangtuanya.
Tanda-tanda itu nyata dan banyak sekolah yang mengalaminya, termasuk di sekolah tempat saya mengajar. Rasa-rasanya, saya dan segenap guru kelas di SD mulai mengajar lagi dari "nol" karena hampir seluruh siswa semakin menurun kualitas belajarnya.
Bagaimana tidak menurun, selain capaian kompetensi yang telah dikurangi, manajemen belajar siswa di rumah juga pasti berubah. Bagus pula jikalau orangtuanya di rumah mau menyajikan desain pembelajaran dan bimbingan, tapi jika orangtua kurang teredukasi?
Itulah sebenarnya masalah rumit yang melanda sekolah pelosok. Jadi, wajar bila Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti menyebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dapat menerbitkan potensi pelajar tinggal kelas.
Demi mencegah potensi learning loss yang lebih mencekam, setidaknya guru perlu mengubah desain dan gaya mengajarnya. Bukan sekadar pola pikir semata, melainkan langsung take action.