Pada hari Selasa (09/02/2021) kemarin, Kemendikbud melalui Mas Nadiem Anwar Makarim resmi meluncurkan program Kampus Mengajar Angkatan I tahun 2021. Program baru ini adalah bagian dari program unggulan Kampus Merdeka yang sudah bergaung sejak tahun lalu.
Kok tiba-tiba Mas Mendikbud meluncurkan program Kampus Mengajar padahal saat ini pandemi masih betah untuk singgah? Setidaknya ada dua alasan utama yang diterangkan oleh beliau.
Pertama, Mas Nadiem ingin agar segenap mahasiswa ambil bagian dalam hal peningkatan pembelajaran literasi dan numerasi. Sedangkan tujuan kedua, mahasiswa diharapkan dapat membantu pembelajaran di masa pandemi terutama di SD daerah 3T.
"Melalui Kampus Mengajar 2021, saya ingin menantang adik-adik mahasiswa untuk juga mengatakan "SAYA MAU!" Yakni mau membantu mengubah tantangan tersebut menjadi harapan, " begitu tutur Mendikbud ketika program yang diluncurkan Kampus Mengajar secara berani di Jakarta, Selasa (09/02/2021) sebagaimana yang saya kutip dari laman resmi Kemdikbud.go.id
Ketika kita mencermati sebab dan tujuan dihadirkannya program Kampus Mengajar, maka dapat dipetik sebuah gagasan bahwa tujuan program ini adalah mulia. Niatnya ialah untuk membantu sekaligus meningkatkan efektivitas pembelajaran di tengah pandemi.
Syahdan, secara tidak langsung program Kampus Mengajar bakal memberikan ruang besar bagi mahasiswa untuk menimba pengalaman. Secara, mereka bakal langsung terjun ke lapangan seraya merasakan kesusahan yang biasa dialami oleh SD di daerah 3T.
Sebut saja seperti akses sinyal yang susah, karakter siswa/i yang jauh berbeda dengan anak kota, kurangnya fasilitas pendukung pembelajaran, dan lain sebagainya.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, mahasiswa yang lolos nantinya bakal diberi uang saku senilai Rp700.000/bulan dan pemangkasan UKT hingga 2,4 Juta.
Selain itu, nilai SKS-nya juga besar, yaitu sebanyak 12 SKS. Ngeri, Bro. Sedangkan KKN maupun PPL saja hanya 4 SKS.
Tapi, setelah saya baca situs resmi Kampus Mengajar beserta FAQ-nya, saya malah pesimis program ini bakal sukses.
Lha, bukankah niat Kemendikbud yang juga didukung oleh LPDP ini mulia dan tujuannya jelas? Benar. Tapi sayangnya, ada 5 alasan lain yang membuat saya semakin ragu dengan eksistensi program Kampus Mengajar. Berikut detailnya:
Pertama, Tujuannya Tepat Sasaran tapi Salah Utusan
Benar, lagi-lagi harus kita katakan bahwa tujuan dan sasaran Kemendikbud sudah sangat baik.
Tujuan dari program Kampus Mengajar adalah meningkatkan derajat efektivitas pembelajaran di era pandemi, sedangkan sasarannya adalah sekolah 3T alias sekolah pelosok. Tapi, pasukan pengajar yang diutus adalah mahasiswa dengan ketentuan minimal semester 5.
Aduhai, apa tidak salah, nih?
Bukannya saya meragukan kapasitas seorang mahasiswa semester 5, ya.
Berkaca dari pengalaman mengajar di SMP tahun 2017, saya pernah diceritakan oleh salah seorang siswi bahwa di tempat saya mengajar itu pernah ada mahasiswa PPL yang menangis karena tak mampu mengelola kelas. Padahal sekolah tersebut SMP favorit, lho!
Sudah pasti mahasiwa PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) yang terpilih adalah mereka yang lulus dengan nilai microteaching tinggi.
Tapi, itulah kenyataan, kenyataan bahwa tinggi/rendahnya nilai akademik (IPK) tidak melulu seirama dengan praktik di lapangan. Pengalamanlah yang nantinya bisa berbicara.
Alhasil, jika kita melirik lagi tujuan dihadirkannya program Kampus Mengajar, rasanya harapan dari program tersebut terlalu berat untuk diemban oleh mahasiswa. Guru saja yang sudah berpengalaman masih pontang-panting!
Kedua, Durasi Pembekalan yang (Sangat) Singkat
O ya, mahasiswa fakultas keguruan sebelum melaksanakan praktik mengajar (PPL) biasanya wajib mengambil mata kuliah microteaching selama satu semester penuh. Mata kuliah tersebut biasanya dimunculkan pada semester 6 dan menjadi syarat wajib agar bisa ikut PPL.
Nah, sedangkan program Kampus Mengajar dengan harapan yang tinggi tadi hanya menyediakan 7 hari alias 1 minggu pembekalan saja. Itu pun via daring.
Jadi, bisa dibayangkan betapa senjangnya pembekalan kompetensi mengajar. Mata kuliah microteaching saja yang cuma 3 SKS harus ditempuh selama 1 semester, sedangkan pembekalan Kampus Mengajar yang bernilai 12 SKS malahan hanya 7 hari. Hemm.
Sebagai pembanding tambahan, Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Fahrizal Martha Tanjung saja pernah berkisah bahwa mahasiswa PPG yang jelas-jelas sudah S-1 masih kesulitan mengajar di sekolah karena kondisi di lapangan yang beragam dan kompleks.
"Itu di PPG saja masih terjadi. Lalu kalau (mahasiswa Kampus Mengajar) dengan waktu (pelatihan) seminggu, terlalu naif lah kita berharap bisa membawa perubahan di dalam konteks pembelajaran di ruang kelas," begitu terangnya pada Rabu (10/02/2021).
Nah, lagi-lagi terpaksa harus kita katakan bahwa harapan program Kampus Mengajar terlalu tinggi kepada mahasiswa.
Ketiga, Derajat Fokus Mahasiswa/i Bakal Naik Turun
Alasan ketiga mengapa saya pesimis bahwa program Kampus Mengajar tidak bakal sukses adalah karena derajat fokus mahasiswa nantinya tidak akan penuh.
Bayangkan saja, mahasiswa minimal sudah semester 5, berarti nanti yang calon peserta yang bakal mendaftar adalah mereka yang duduk di semester tinggi. Mungkin semester 6 dan 7 juga bakal ikut. Syahdan, dikhawatirkan muncullah gejolak pikir seperti berikut ini:
"Sebenarnya aku ingin sih ikut program Kampus Mengajar, tapi bagaimana dengan nasib skripsiku? Mungkinkah dia masih baik-baik saja?"
Wajar, kan. Namanya juga mahasiswa. Bahkan saya dulu saat mengikuti PPL sempat beberapa kali izin dengan guru piket demi bertemu dosen pembimbing. Secara, sehabis PPL saya harus cepat-cepat daftar ujian skripsi.
Jika tidak? Ya bayar SPP lagi. Hemm. Memangnya mudah cari duit? Susah.
Alhasil, bersandar dari sini saja sudah muncul praduga bahwa mahasiswa yang bakal mengajar di SD 3T derajat fokusnya bakal naik turun. Apalah arti mengajar dengan durasi 12 minggu.
Hanya 3 bulan, paling-paling 1 bulan penuh bakal digunakan untuk membuat laporan. Perangkat pembelajaran? Itu laporan awal. Laporan mengajar, laporan akhir? Belum lagi kalau ada juga tugas kampus. Kan kasihan mahasiswa. Mereka kan ingin segera lulus.
Keempat, Buang-buang Uang
Seperti yang sudah diterangkan di awal tulisan ini, ada sederet insentif yang bakal direngkuh andai mahasiswa lolos seleksi dan berpartisipasi dalam program Kampus Mengajar.
Ya, tiap mahasiwa bakal mendapatkan uang saku senilai 700/bulan sekaligus bantuan UKT hingga Rp2,4 juta. Jika jumlah kuota peserta adalah 15ribu orang, maka butuh dana senilai Rp67,5 miliar untuk mendanai program.
Hemm. Bayangkan saja, hanya 3 bulan mengajar tapi dana yang digelontorkan sudah sebanyak itu. Tambah lagi, program ini salah utusan pula. Alhasil, sama saja pemerintah sedang buang-buang uang untuk hasil yang masih sekadar angan.
Padahal, bakal lebih bagus bila dana sebanyak itu digelontorkan untuk peningkatan akses pembelajaran di daerah 3T. Atau mau menambah gaji guru di SD 3T? Wah, itu lebih baik.
Secara, uang Rp700.000 itu besar. Tidak semua guru honorer mampu meraihnya dalam sebulan mengajar.
Bahkan, baru-baru ini sedang viral guru SD yang dipecat gara-gara mengunggah nilai gaji Rp700.000 yang didapatnya setelah 4 bulan mengajar di media sosial. Kan sedih kita. Padahal guru tersebut sudah 16 tahun mengabdi loh.
Kelima, Kemendikbud "Kurang Serius" Menyiapkan Program
Sebelum menulis artikel ini, sejatinya saya sudah lebih dulu mengulik informasi dari laman resmi Kemendikbud dan juga laman pendaftaran program Kampus Mengajar.
Lebih dari itu, panduan Kampus Mengajar angkatan I yang berbentuk dokumen berjumlah 31 halaman juga sudah saya unduh.
Saya hanya penasaran dan ingin tahu seberapa serius pemerintah menyiapkan sebuah program hingga akhirnya ditemukanlah fakta mencengangkan seperti gambar berikut ini:
Nah, terlihat pada gambar panduan di atas bahwa tulisan yang disajikan begitu "amburadul". Sejak kapan awalan "di" berdampingan erat dengan kata tempat "sekolah". Kemudian ada lagi kata "diprogram" dan "dipojok".
Aduhai, kalau Daeng Khrisna Pabichara membaca tulisan ini, mungkin beliau akan menangis. Masa iya sekelas Kemendikbud bisa seceroboh ini. Eh, bukan cuma ceroboh, sih. Rasanya pihak pembuat dokumen panduan juga kurang serius dan kurang teliti.
Jujur saja kita kasihan dengan mahasiswa, juga dengan pemerintah. Walaupun hanya sebatas panduan berformat PDF, setidaknya perlu disiapkan secara matang. Tapi, ya, sekarang sudah terlanjur ketahuan, kan. Mungkin sudah ribuan orang yang mengunduh dokumen tersebut.
Jadi, wajar kan kalau saya menjadikan alasan kelima sebagai penyebab pesimis? Hemm. Saya jadi semakin merasa beruntung telah bergabung dan belajar menulis di Kompasiana. Setidaknya derajat perhatian saya kepada Bahasa Indonesia mulai meninggi.
Mengapa Tidak Lulusan/Sarjana Terbaik Saja yang Ditantang?
Ketika kita berkisah tentang Kampus Mengajar, rasanya tidak sedikit dari teman-teman yang teringat dengan program keren bernama "Indonesia Mengajar" yang digagas oleh Anies Baswedan.
Ya, baik program Kampus Mengajar ala Nadiem dan program Indonesia Mengajar ala Anies keduanya ada kemiripan, yaitu sama-sama ingin mengirimkan tenaga pengajar terbaik ke sekolah SD di daerah 3T.
Maka dari dari itulah tidak sedikit netizen yang berkoar bahwa program Kampus Mengajar adalah copy-paste dari program Anies yang sudah eksis sejak tahun 2010.
Tapi ada bedanya, dan mungkin perbedaan ini semestinya bisa dijadikan kajian oleh Kemendikbud era Nadiem untuk dipetik poin-poin krusialnya.
Ya, sebagai pembanding, tenaga pengajar yang diutus oleh program Indonesia Mengajar adalah sarjana lulusan terbaik (S-1) yang masih berstatus fresh graduates.
Nantinya, para tenaga pengajar muda ini akan diminta untuk mengabdi alias mengajar di sekolah selama satu tahun. Tapi sebelum itu, mereka wajib mengikuti pelatihan selama 7 minggu.
Nah, sampai di sini, bisa dibayangkan keseriusan dari program. Sarjana alias lulusan terbaik yang jelas-jelas sudah tamat kuliah saja masih harus dibina lagi hingga 7 minggu. Hal tersebut menandakan bahwa persiapan dan pembinaan calon guru sangat-sangat penting.
Alhasil, berkaca dari kemiripan kedua program ini, rasanya Mas Nadiem bersama Kemendikbud dan Dikti perlu mengkaji lagi tujuan utama program.
Kalaulah tujuannya untuk membantu meningkatkan kesuksesan pembelajaran di SD daerah 3T, mengapa tidak sarjana yang baru lulus saja yang ditantang?
Secara, sarjana fresh graduates fokusnya tidak akan terpecah. Selain itu, kalau program mengajarnya digelar selama satu tahun, hasilnya bakal jauh lebih tampak dibandingkan dengan mengajar hanya 3 bulan saja.
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H