Padahal, bakal lebih bagus bila dana sebanyak itu digelontorkan untuk peningkatan akses pembelajaran di daerah 3T. Atau mau menambah gaji guru di SD 3T? Wah, itu lebih baik.
Secara, uang Rp700.000 itu besar. Tidak semua guru honorer mampu meraihnya dalam sebulan mengajar.
Bahkan, baru-baru ini sedang viral guru SD yang dipecat gara-gara mengunggah nilai gaji Rp700.000 yang didapatnya setelah 4 bulan mengajar di media sosial. Kan sedih kita. Padahal guru tersebut sudah 16 tahun mengabdi loh.
Kelima, Kemendikbud "Kurang Serius" Menyiapkan Program
Sebelum menulis artikel ini, sejatinya saya sudah lebih dulu mengulik informasi dari laman resmi Kemendikbud dan juga laman pendaftaran program Kampus Mengajar.
Lebih dari itu, panduan Kampus Mengajar angkatan I yang berbentuk dokumen berjumlah 31 halaman juga sudah saya unduh.
Saya hanya penasaran dan ingin tahu seberapa serius pemerintah menyiapkan sebuah program hingga akhirnya ditemukanlah fakta mencengangkan seperti gambar berikut ini:
Nah, terlihat pada gambar panduan di atas bahwa tulisan yang disajikan begitu "amburadul". Sejak kapan awalan "di" berdampingan erat dengan kata tempat "sekolah". Kemudian ada lagi kata "diprogram" dan "dipojok".
Aduhai, kalau Daeng Khrisna Pabichara membaca tulisan ini, mungkin beliau akan menangis. Masa iya sekelas Kemendikbud bisa seceroboh ini. Eh, bukan cuma ceroboh, sih. Rasanya pihak pembuat dokumen panduan juga kurang serius dan kurang teliti.
Jujur saja kita kasihan dengan mahasiswa, juga dengan pemerintah. Walaupun hanya sebatas panduan berformat PDF, setidaknya perlu disiapkan secara matang. Tapi, ya, sekarang sudah terlanjur ketahuan, kan. Mungkin sudah ribuan orang yang mengunduh dokumen tersebut.
Jadi, wajar kan kalau saya menjadikan alasan kelima sebagai penyebab pesimis? Hemm. Saya jadi semakin merasa beruntung telah bergabung dan belajar menulis di Kompasiana. Setidaknya derajat perhatian saya kepada Bahasa Indonesia mulai meninggi.