Benar, lagi-lagi harus kita katakan bahwa tujuan dan sasaran Kemendikbud sudah sangat baik.
Tujuan dari program Kampus Mengajar adalah meningkatkan derajat efektivitas pembelajaran di era pandemi, sedangkan sasarannya adalah sekolah 3T alias sekolah pelosok. Tapi, pasukan pengajar yang diutus adalah mahasiswa dengan ketentuan minimal semester 5.
Aduhai, apa tidak salah, nih?
Bukannya saya meragukan kapasitas seorang mahasiswa semester 5, ya.
Berkaca dari pengalaman mengajar di SMP tahun 2017, saya pernah diceritakan oleh salah seorang siswi bahwa di tempat saya mengajar itu pernah ada mahasiswa PPL yang menangis karena tak mampu mengelola kelas. Padahal sekolah tersebut SMP favorit, lho!
Sudah pasti mahasiwa PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) yang terpilih adalah mereka yang lulus dengan nilai microteaching tinggi.
Tapi, itulah kenyataan, kenyataan bahwa tinggi/rendahnya nilai akademik (IPK) tidak melulu seirama dengan praktik di lapangan. Pengalamanlah yang nantinya bisa berbicara.
Alhasil, jika kita melirik lagi tujuan dihadirkannya program Kampus Mengajar, rasanya harapan dari program tersebut terlalu berat untuk diemban oleh mahasiswa. Guru saja yang sudah berpengalaman masih pontang-panting!
Kedua, Durasi Pembekalan yang (Sangat) Singkat
O ya, mahasiswa fakultas keguruan sebelum melaksanakan praktik mengajar (PPL) biasanya wajib mengambil mata kuliah microteaching selama satu semester penuh. Mata kuliah tersebut biasanya dimunculkan pada semester 6 dan menjadi syarat wajib agar bisa ikut PPL.
Nah, sedangkan program Kampus Mengajar dengan harapan yang tinggi tadi hanya menyediakan 7 hari alias 1 minggu pembekalan saja. Itu pun via daring.
Jadi, bisa dibayangkan betapa senjangnya pembekalan kompetensi mengajar. Mata kuliah microteaching saja yang cuma 3 SKS harus ditempuh selama 1 semester, sedangkan pembekalan Kampus Mengajar yang bernilai 12 SKS malahan hanya 7 hari. Hemm.