Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Begini Cara Meracik Tujuan Pembelajaran dengan Mengadopsi Formula "SMART"

31 Januari 2021   12:38 Diperbarui: 1 Februari 2021   17:24 5066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita berkisah tentang visi, mimpi, dan hidup, maka sandaran yang biasanya dipakai untuk meracik kesuksesannya adalah formula "SMART".

Dengan formula Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Timely, kita bisa meracik sebuah tujuan agar mimpi-mimpi yang kemarin dihadirkan tidak lenyap atau malah "numpang lewat"sebagai angan.

Tidak jauh berbeda, dalam dunia pembelajaran juga begitu. Ketika proses belajar-mengajar berlangsung, baik guru maupun siswa harus sama-sama memiliki tujuan yang jelas.

Semisal, tujuan guru masuk kelas untuk apa, apakah sekadar cek presensi, duduk manis, lalu memberi tugas, atau malah berhasrat tinggi memasukkan insight dunia ke dalam kelas.

Siswa juga demikian. Siswa datang ke kelas tatap muka maupun kelas daring tujuannya apa, apakah hanya sekadar berjumpa teman sebaya, sekadar mendapat uang jajan, atau malah menggaungkan hasrat yang tinggi agar hidupnya lebih baik daripada hari ini.

Meski kedua pemeran utama dalam skenario pembelajaran ini memiliki tujuan, tetap saja siswa hanyalah anak-anak. Alhasil, wajar bila kemudian manajemen tujuan siswa terkesan "amburadul" alias tak tentu arah. Maka dari itulah, sebagai suksesor pembelajaran, guru wajib mengarahkan.

Secara tersurat, arahan tersebut sebenarnya sudah tertuang dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) pada poin tujuan. Hanya saja, kalau kita mengecek lagi secara seksama, tidak jarang ditemukan indikator-indikator tujuan belajar yang sifatnya mengambang.

Nah, ada kisah lama yang masih kuingat dari mulai kuliah hinggalah hari ini. Ya, adalah penegasan dari dosenku yang mengutarakan bahwa jangan menaruh indikator tujuan pembelajaran yang sulit diukur dalam RPP.

Contohnya? Siswa diharapkan mampu memahami materi pelajaran A. Atau, siswa mampu menerima materi B. Bukankah kata "memahami" dan "menerima" rawan susah untuk diukur?

Sama halnya seperti guru yang menyampaikan tujuan pembelajaran di kelas dan mengharapkan bahwa para siswa mampu memahami materi A. Pernyataannya adalah, bagaimana cara mengukur pemahaman? Bukankah kita butuh beberapa indikator untuk merengkuh sebuah pemahaman?

Akhirnya, kita sandingkan lagi kepada tujuan hidup. Kalau hidup ini tujuannya kurang rinci dan menggunakan kata-kata yang susah diukur seperti "memahami kamu apa adanya", "menerima kamu apa adanya", rasanya tujuan yang dimaksud bakal buyar dan membingungkan.

Dunia pembelajaran juga begitu. Maka dari itulah, rasanya kita perlu mengadopsi formula "SMART" untuk memudahkan jalan menggapai harapan belajar.

Begini Cara Membuat Tujuan Pembelajaran dengan Mengadopsi Formula "SMART"

Pertama, S=Specific.

Dalam merencanakan tujuan pembelajaran, kita sebisa mungkin menggunakan kata-kata kerja operasional (bisa dicek dalam Taksonomi Bloom).

Seperti contoh, pada kata "memahami" tadi. Sebenarnya "memahami" itu bukanlah tujuan, melainkan lebih kepada standar kompetensi. Maka dari itulah, di dalam tujuan pembelajaran tak perlu lagi menjelaskan kepada siswa bahwa mereka harus paham ini dan itu.

Akan lebih baik bila kita menyuguhkan indikator-indikator "paham" seperti siswa mampu mengemukakan pendapat, menguraikan sebuah teori lalu menggeneralisasi gagasan, hingga mempertahankan argumen.

Lebih spesifik, bukan? Nah, sip. Jikalau sebuah tujuan diberi cara-cara untuk mengukur, pembelajaran di kelas bakal lebih luwes, lebih luas, bahkan lebih berkembang.

Kedua, M= Measurable.

Sejatinya tujuan hidup ini bakal makin ambyar ketika seseorang hanya menghadirkan segenap kata-kata normatif dan abstrak di dalam benaknya. Misalnya, tujuan hidup adalah "saya ingin pintar".

Kenyataannya, dalam pembelajaran juga begitu. Sama dengan tujuan hidup, tujuan pembelajaran harus measurable alias terukur.

Alhasil, kalau tujuan pembelajaran adalah "penanaman nilai", maka kegiatan siswa bukan merangkum materi nilai melainkan ajak mereka untuk terlibat, mengusulkan sebuah kegiatan tentang nilai, atau kalau bisa minta siswa untuk menghadirkan inisiasi.

Ketiga, Achievable.

Dalam hidup, guru punya target. Siswa juga demikian. Sedangkan dalam pembelajaran, pemerintah, disdik daerah, sekolah, hingga kurikulum juga punya target. Tapi, dalam dunia belajar di kelas secara khusus sudah seharusnya target belajar adalah target yang bisa dicapai.

Maksudnya, percuma saja guru punya target yang bagus-bagus tapi dalam implementasinya target itu tak bisa dicapai atau bahkan tidak masuk akal.

Contoh sederhana, karena di dalam RPP ada kegiatan "mengamati tayangan video/gambar", maka target tersebut tidak masuk akal bila diterapkan di sekolah yang terkendala oleh akses internet, tidak tersedianya infocus, maupun sinyal.

Alhasil, dalam menghadirkan tujuan pembelajaran sisi achievable harus ditinggikan dengan mengadakan pembelajaran yang bisa dicapai sesuai dengan keadaan dan kemampuan siswa.

Termasuklah pada situasi pandemi hari ini. Target kurikulum bagus, tapi karena kondisinya darurat, akan menjadi tidak masuk akal bila siswa harus diberi tugas bergunung-gunung demi menuntaskan kurikulum. Kasihan anak-anak kita.

Keempat, R=Relevant.

Sejauh pandang kita, pada dasarnya begitu banyak siswa yang enggan menaruh perhatian belajar ketika melahap materi-materi tertentu.

Sebenarnya, hal tersebut tidak melulu berkisah tentang faktor guru yang kurang asyik maupun faktor mata pelajaran yang kurang diminati. Siswa bakal menyukai seluruh mata pelajaran asalkan materi yang ada di sana sesuai alias relevan dengan kondisi, situasi, hingga pengalaman mereka.

Lebih jauh, hal itu juga berpengaruh terhadap tujuan pembelajaran. Bahwa ketika tujuan pembelajaran tidak sesuai dengan "maunya" siswa, maka apa yang diharapkan guru maupun kurikulum bisa saja kandas. Ya, siswa kan merasa tidak butuh.

Jadi, demi merengkuh harapan belajar yang maksimal, kita sebagai guru tidak perlu terlalu teoritis bahwa kegiatan mengajar itu harus sama persis dengan RPP atau malah kegiatan mengajar ala buku.

Kita perlu lihat keadaan dan motivasi siswa agar bisa menemukan titik hebat mereka dari sana. Toh ketika siswa butuh materi ajar, atau bahkan menyukai materi tertentu, biasanya mereka telah menemukan secercah kehebatan. Jadi, guru tinggal memaksimalkan nilai lebih siswa tersebut.

Kelima, T=Timely.

Ketika berbicara tentang tujuan pembelajaran, rasanya kurang sahih kalau kita katakan bahwa tujuan itu hanyalah hasil. Untuk materi-materi tertentu, okelah, tapi kalau tujuan belajar disandarkan kepada hasil, maka sesungguhnya kita telah menentang jargon "long life education".

Nah, berkaca dari sana, seorang guru perlu membuat tujuan proses dengan rincian tujuan jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang.

Akan lebih baik lagi jika tujuan pembelajaran yang digaungkan itu saling berhubungan. Layaknya sebuah blog, dalam dunia SEO diperlukan sambung-menyambung antara tautan artikel satu dengan artikel lainnya. Begitu pula dengan tautan internal dan eksternal.

Semua itu dilakukan para bloger agar mampu merengkuh jumlah pembaca dalam waktu singkat, peningkatan otoritas domain, hingga menaikkan eksistensi blog di SERP.

Dalam dunia pembelajaran, hal tersebut dikenal dengan istilah "Knowledge is power" yang berarti bahwa tujuan pembelajaran itu jangan terbatas oleh satu mapel tertentu saja melainkan harus meluas dan menyentuh kehidupan siswa. Dengan begitulah materi ajar akan bermanfaat.

*

Apakah rangkaian tujuan pembelajaran di atas perlu dicantumkan semua di RPP? Rasanya tidak, ya. Adopsi formula SMART ini aku hadirkan sebagai salah satu pengembangan sekaligus perincian tujuan pembelajaran agar materi ajar lebih berguna bagi siswa di dunia nyata.

Tak perlu semuanya dimasukkan dalam RPP, cukup hadirkan poin-poin inti saja, sedangkan sisanya kita tanamkan di kepala sembari meningkatkan wawasan.

Toh tidak ada gunanya juga RPP hingga puluhan lembar dalam satu pertemuan kalau kemudian malah memasung kreativitas berpikir guru. Mendingan cukup satu lembar, tapi memiliki puluhan lampiran makna.

Salam.

Taman Baca:

An Ubaedy, Mengajar dengan Hati, Jakarta:Media Pustaka, 2014
Kata Kerja Operasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun