Maka dari itulah, tidak heran bahwa sampai sekarang murid-murid non-muslim yang pernah saya masuki kelasnya masih ingat dengan saya.
Misalnya dua bulan yang lalu, saat saya bersama Ibu membeli blender di sebuah toko.
Ketika ingin membayar, tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik yang menegur saya, "Pak Ozy, kan?" Ketika saya lihat, saya langsung ingat bahwa gadis tersebut adalah siswi non-muslim yang pernah saya ajar.
Pun demikian halnya dengan siswi-siswi muslimah yang saya ajar di kelas. Baik saya maupun guru agama senior di SMP tidak pernah memaksa mereka untuk memakai jilbab ketika di kelas. Aturan sekolah pun demikian. Walaupun siswi tersebut adalah muslimah loh ya!
Mengapa demikian? Kembali lagi kepada awal tulisan ini, bahwa jilbab itu diwajibkan atas muslimah, tapi bukan kewajiban sekolah untuk memaksa setiap muslimah berjilbab di sekolah. Ingat, bukan kewajiban sekolah loh ya.
Jikalau dia muslimah, maka sudah menjadi kewajiban orangtua untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada anak sejak dini.
Maka dari itulah, sekolah terutama sekolah negeri tidak berhak memaksa siswi untuk wajib berjilbab, atau pun memaksa siswi mencopot jilbabnya di sekolah. Itu pelanggaran.
Benar bahwa jilbab itu tidak langsung berhubungan dengan akidah, tapi biar bagaimanapun, mengenakan jilbab diwajibkan dalam Islam.
Meski demikian adanya, tidak benar pula kalau ada orang yang memberi pernyataan begini:
"Untuk apa siswi mengenakan jilbab kalau masih banyak omongannya yang mencaci, kasar, serta belum mampu menjadi teladan bagi orang lain."
Mengapa saya katakan tidak benar? Karena sejatinya hukum jilbab dengan hukum berucap (lidah) itu beda jalur. Dalam artian, tidak ada jaminan bahwa orang yang berjilbab, lidahnya juga "berjilbab". Tapi, jangan pula harus menunggu lidahmu "benar" dahulu baru kemudian berjilbab.