Beberapa hari ini saya cukup gerah membaca pemberitaan terkait pendidikan. Dua hari yang lalu bergaung informasi bahwa Asesmen Nasional akan ditunda, sedangkan kemarin di hari Jumat, terkuak lagi berita tentang sekolah negeri yang mewajibkan siswi non-muslim memakai jilbab.
Aih, seakan cerita lama terulang kembali. Terang saja, rasanya sudah ada beberapa peristiwa seiras yang terjadi beberapa tahun ke belakang.
Contoh terdekat misalnya pada tahun 2019. Waktu itu ada satu SD Negeri dan dua SMP Negeri yang menerapkan aturan wajib berjilbab kepada seluruh siswi tanpa terkecuali mereka yang non-muslim.
Terang saja hal tersebut merupakan diskriminasi. Sedangkan dalam Islam saja dikatakan "Laa Ikraaha fiddiin" yang artinya tiada paksaan bagi manusia untuk Islam.
Sejauh pengetahuan saya, Kalamullah tersebut turun atas tiga perkara.
Pertama, karena ada seorang ayah dari kaum anshar yang ingin memaksa anaknya untuk masuk Islam. Kedua, karena ada sebagian umat muslim yang terlalu fanatik dengan agamanya. Dan ketiga, umat non-muslim yang membayar jizyah alias pajak tak boleh dipaksa maupun diperangi.
Ketika kita kembali lagi kepada kasus SMKN di Padang, maka siswi non-muslim yang dipaksa ikut aturan berjilbab tersebut sejatinya termasuk kategori dzimmi alias siswi yang merdeka dan berhak mendapat perlindungan sekaligus keamanan dari pemerintah.
Syahdan, akhirnya nyambunglah dalil itu dengan peraturan pemerintah dalam Permendikbud nomor 45 tahun 2014 tentang ketentuan pakaian seragam nasional, pakaian seragam khas sekolah, pakaian seragam kepramukaan, pakaian seragam khas muslimah, hingga atribut seragam.
Maka dari itulah agak lucu bila kemudian kita dengar bahwa mantan walikota Padang, Fauzi Bahar berdalih bahwa kewajiban menggunakan jilbab di sekolah tersebut adalah perwujudan dari kearifan lokal yang banyak manfaatnya (Kompas, 23/01/2021)
Niatnya barangkali baik, yaitu mencegah terjadinya tindakan kekerasan alias pelecehan di sekolah. Terlebih lagi di SMK Negeri, kan. Tapi, kalau menyandingkan jilbab sebagai kearifan budaya lokal Padang, mengapa siswi di sana tidak pakai tingkuluak saja?
Inilah fenomena beragama yang rasanya perlu ditilik dari berbagai sisi dan jangan didasarkan atas pemikiran yang sempit. Apalagi fanatik. Saya cukup seirama dengan tulisan Pak Efwe bahwa Kemendikbud perlu turun tangan untuk mempertegas aturan tentang seragam sekolah.
Terang saja, sekilas dan bahkan lebih jauh, aturan pemaksaan pengenaan hijab kepada siswi non-muslim adalah bentuk intoleransi. Bahkan, KPAI melalui Komisionernya, Retno Listyarti menegaskan bahwa pemaksaan tersebut sudah termasuk pelanggaran HAM.
Namanya juga sekolah negeri, maka semestinya aturan berpakaian ya sesuai dengan aturan seragam nasional yang menjunjung nilai-nilai kebangsaan.
Sama lah seperti saya dulu saat bersekolah SMA di tahun 2011. Waktu itu belum ada aturan khusus tentang rok perempuan yang harus panjang. Tapi, ada aturan tegas bahwa rok siswi harus di bawah lutut.
Hatta, apa konsekuensi ketegasannya waktu itu? Seingat saya, mayoritas siswi yang roknya di atas lutut bakal dibina oleh guru BK agar segera membeli rok baru, atau minimal menjahit rok lama agar lebih panjang sampai ke bawah lutut.
Sedangkan hari ini, barangkali mata-mata yang memandang sudah relatif beda, mungkin sudah banyak setannya. Maka dari itulah banyak sekolah negeri yang sudah mewajibkan siswinya untuk memakai rok panjang.
Begitu pula dengan peraturan di SMP Negeri tempat saya mengajar dulu (2017-2019). Siswi (tanpa memandang agama maupun kepercayaan tertentu) diminta untuk memakai rok panjang. Sedangkan untuk baju lengan panjang, itu relatif, dikembalikan kepada siswinya.
Bahkan, terkait dengan jilbab, sekolah kami waktu itu menerapkan aturan ketat bahwa jilbab siswi muslim haruslah jilbab sorong, bukan jilbab panjang maupun segi empat.
Aturan tersebut diterapkan gara-gara ada beberapa siswi yang sengaja tidak memakai dasi dan berdalih bahwa dasi mereka ada di sebalik jilbab yang menjulur panjang. Padahal... Mereka tidak bawa dasi. Kan miris jadinya, bahwa jilbab dijadikan alat pelanggaran disiplin.
Dan kebetulan, saya juga mengajar agama di SMP Negeri tersebut. Total pelajarnya ada hampir seribu siswa dan tiap-tiap kelas ada 1-3 pelajar yang beragama non-muslim.
Meski mengajar mata pelajaran Agama Islam, hubungan saya dengan siswa-siswi non-muslim baik-baik saja, bahkan sangat baik. Kami sering bertukar canda, diskusi tentang kegiatan kelas, hingga menyatukan persepsi tentang akhlak mulia.
Maka dari itulah, tidak heran bahwa sampai sekarang murid-murid non-muslim yang pernah saya masuki kelasnya masih ingat dengan saya.
Misalnya dua bulan yang lalu, saat saya bersama Ibu membeli blender di sebuah toko.
Ketika ingin membayar, tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik yang menegur saya, "Pak Ozy, kan?" Ketika saya lihat, saya langsung ingat bahwa gadis tersebut adalah siswi non-muslim yang pernah saya ajar.
Pun demikian halnya dengan siswi-siswi muslimah yang saya ajar di kelas. Baik saya maupun guru agama senior di SMP tidak pernah memaksa mereka untuk memakai jilbab ketika di kelas. Aturan sekolah pun demikian. Walaupun siswi tersebut adalah muslimah loh ya!
Mengapa demikian? Kembali lagi kepada awal tulisan ini, bahwa jilbab itu diwajibkan atas muslimah, tapi bukan kewajiban sekolah untuk memaksa setiap muslimah berjilbab di sekolah. Ingat, bukan kewajiban sekolah loh ya.
Jikalau dia muslimah, maka sudah menjadi kewajiban orangtua untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada anak sejak dini.
Maka dari itulah, sekolah terutama sekolah negeri tidak berhak memaksa siswi untuk wajib berjilbab, atau pun memaksa siswi mencopot jilbabnya di sekolah. Itu pelanggaran.
Benar bahwa jilbab itu tidak langsung berhubungan dengan akidah, tapi biar bagaimanapun, mengenakan jilbab diwajibkan dalam Islam.
Meski demikian adanya, tidak benar pula kalau ada orang yang memberi pernyataan begini:
"Untuk apa siswi mengenakan jilbab kalau masih banyak omongannya yang mencaci, kasar, serta belum mampu menjadi teladan bagi orang lain."
Mengapa saya katakan tidak benar? Karena sejatinya hukum jilbab dengan hukum berucap (lidah) itu beda jalur. Dalam artian, tidak ada jaminan bahwa orang yang berjilbab, lidahnya juga "berjilbab". Tapi, jangan pula harus menunggu lidahmu "benar" dahulu baru kemudian berjilbab.
Sebagai penutup, jikapun ingin mengajak siswi menggunakan jilbab, terutama bagi guru agama, maka datanglah kepada mereka dengan cara yang baik. Kenalkan kepada siswi betapa pentingnya jilbab, mengapa jilbab diwajibkan, dan terangkan pula keistimewaan perempuan yang berjilbab.
Tugas kita sebagai guru itu menyampaikan, dan sebagai manusia, kita tak bisa mengubah diri seseorang. Ada peran hidayah di sana.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H