Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mulailah Mengajar dari Afeksi, Baru Kemudian Kognisi

15 Desember 2020   17:04 Diperbarui: 16 Desember 2020   06:24 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
5 Karakteristik Utama Afeksi dalam Pembelajaran. Dok. Ozy V. Alandika

Seperti apapun kondisi dan situasi saat ini, kegiatan mengajar selalu menemui tantangannya. Entah itu pandemi, keterbatasan fasilitas, hingga perubahan kebijakan pemerintah dalam negeri, masing-masing darinya terkadang menyebabkan efektivitas pengajaran jadi pasang surut.

Termasuklah soal perhatian siswa, baik di kelas tatap muka maupun kelas virtual. Di era merdeka belajar, saya kira mendapatkan perhatian siswa dalam mengajar tidak selalu mudah.

Terkadang gurunya berenergi, tapi materi ajarnya penuh dengan diksi-diksi kognisi. Bikin pusing kepala siswa, juga membuat mereka enggan untuk memfokuskan perhatian. Alasannya? Tidak jarang siswa yang sudah berasumsi bahwa nantinya materi ajar yang dimaksud pasti dihafal.

Padahal? Benar-benar dihafal! Hahaha.

Yang jelas, bukan salah materi ajar, sih. Memang, ada sejumput pelajaran yang wajib untuk dihafal. Katakanlah seperti dalil, rumus, hingga tutorial membuat sesuatu.

Meski begitu, sifat hafalan di sini tidak sebatas ingat hari ini tapi minggu depan lupa, melainkan untuk sampai ke tahap sintesa.

Nah, permasalahannya hari ini adalah:

"Mengapa materi ajar yang bersifat hafalan seringkali tidak lengket di memori jangka panjang siswa?"

"Mengapa siswa sudah jenuh bin bosan duluan ketika berhadapan dengan materi pelajaran yang lebih tebal bukunya?"

"Mengapa siswa cenderung susah menaruh perhatian terhadap materi ajar yang jarang praktiknya?"

Salah satu jawaban terbaik yang mungkin perlu saya gaungkan adalah dari sisi pendekatan mengajar guru.

Terang saja, selama ini, fenomena yang sering kita jumpai di lapangan adalah, kebanyakan siswa lebih menyukai buku warna-warni bergambar daripada buku yang penuh dengan kata-kata.

Syahdan, siswa juga lebih suka praktik, lebih suka terjun ke "lapangan" ajar daripada duduk manis di kelas.

Bahkan, hal tersebut juga dibuktikan dengan perbandingan skor PISA 2019 dari segi literasi Membaca, Matematika, dan Sains. Skor Membaca pelajar kita berada di angka 371, Matematika 379, dan Sains sebesar 396.

Sepintas, literasi Numerasi dan Sains agaknya mendulang lebih banyak praktikum serta sintesis bila kita bandingkan dengan literasi membaca. Artinya, kesimpulan sederhana yang bisa kita raih adalah, literasi membaca siswa akan naik ketika dipadukan dengan praktik dan sintesis.

Hatta, guru perlu mulai dari mana?

Mulailah Mengajar dari Afeksi, Baru Kemudian Kognisi

Ketika masuk kelas, barangkali rutinitas yang selama ini guru lakukan masih berkisar pada kegiatan ucap salam, sapa sembari mengecek daftar presensi, kemudian langsung bertanya kepada siswa "Minggu kemarin belajar apa, Nak?" atau "Buka buku pelajaran halaman sekian!"

Dengan urutan pendekatan mengajar yang konvensional seperti itu, maka dengan berat hati saya katakan bahwa "bakal susah meraih perhatian siswa". Gaya bahuela tersebut begitu berasa kognisi, dan derajat kesesuaiannya dengan era merdeka belajar sudah hampir tenggelam.

Maksudnya, para pelajar hari ini akan sangat susah jika harus didekati dari sisi kognisi. Kelas baru dimulai, eh, mereka sudah dikasih setumpuk materi dan diminta untuk memahami, menalar, hingga menganalisa. Bisa-bisa langsung sakit kepala.

Bagaimana tidak sakit, lihat saja urutan alias tingkatan Taksonomi Bloom. Kalau sudah berbau kognitif, maka selanjutnya akan ada tingkatan hafalan dan pemahaman. Kalau dari awal perhatian siswa sudah setengah hati, maka bisa gaswat.

Untuk mengantisipasi kegawatan ini, mau tidak mau guru perlu datang dari ranah lain. Jangan dari sisi kognitif, melainkan dari ranah afektif.

Di awal masuk kelas, jangan langsung ajak siswa berpikir yang berat-berat, tapi sentuh saja mereka dari sisi perasaan dan emosi. Atau, yang lebih dikenal dengan afeksi.

Contohnya? Bagi para guru kelas alias guru SD, rasanya mereka sudah mengenal betul mengapa kurikulum yang disajikan dengan berbagai mata pelajaran secara terpisah harus diganti menjadi pembelajaran tematik.

Sejauh pandang saya, pergantian tersebut adalah upaya pemerintah untuk mengajak guru mengubah gaya mengajarnya. Dari yang sebelumnya fokus kepada aspek kognitif di awal materi, diubah menjadi afektif.

Sebagai contoh, mari sama-sama kita amati pembukaan materi ajar pembelajaran tematik kelas IV SD berikut ini:

Kurikulum Pembelajaran Tematik Sebenarnya Sudah Mengedepankan Afeksi. Tapi.... Dok. Buku Siswa Kelas IV Tema 1 Sub Tema 2 K-2013, Kemdikbud, Rev. 2017
Kurikulum Pembelajaran Tematik Sebenarnya Sudah Mengedepankan Afeksi. Tapi.... Dok. Buku Siswa Kelas IV Tema 1 Sub Tema 2 K-2013, Kemdikbud, Rev. 2017

Pada dasarnya, sajian materi ajar pembelajaran tematik K-13 revisi terbaru di atas bisa dijadikan pedoman alias pijakan guru untuk mewujudkan pendekatan mengajar dari sisi afeksi.

Melalui gambar tersebut, siswa bisa diajak untuk merasakan bagaimana seru dan asyiknya bekerja sama dalam keberagaman. Apakah ini adalah materi pelajaran PKN? Bisa jadi iya, tapi tidak menutup kemungkinan untuk merambat ke pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS, hingga Agama.

Syahdan, pengembangannya bagaimana?

Untuk mengembangkan kemampuan mengajar dari ranah afektif, setidaknya guru perlu mengenal lebih jauh tentang karakteristik dari afektif itu sendiri.

Tertuang dalam juknis penilaian ranah afektif, ada 5 karakteristik utama yang perlu dijadikan dasar pengembangan pengajaran. Berikut sajiannya:

5 Karakteristik Utama Afeksi dalam Pembelajaran. Dok. Ozy V. Alandika
5 Karakteristik Utama Afeksi dalam Pembelajaran. Dok. Ozy V. Alandika

Bersandar pada karakteristik di atas, sejatinya afeksi tidak melulu disandarkan kepada "aksi" siswa dalam menyikapi fenomena-fenomena tertentu yang disajikan. Afeksi juga berkisah tentang pengenalan siswa terhadap konsep dirinya, minat, nilai, hingga aspek moral yang ada di sekelilingnya.

Ketika kita berkaca pada kurikulum nasional hari ini (Kurikulum 2013), afeksi dipecah menjadi dua, yaitu sikap sosial dan sikap spiritual.

Suka-suka peracik kurikulum saja, sih, karena pada dasarnya karakteristik yang terkandung dalam afeksi tidak akan berubah. Yang berubah hanyalah tantangan zaman dan tuntutan kualitas pendidikan di hari esok.

Baiklah, agar pemahaman kita semakin mendalam tentang pentingnya mendahulukan afeksi dalam pembelajaran, bisa diamati salah satu contoh pengembangannya pada sajian berikut ini:

Contoh pembelajaran yang mengedepankan afeksi dengan materi
Contoh pembelajaran yang mengedepankan afeksi dengan materi "jagung". Dok. Ozy V. Alandika

Sajian di atas hanyalah contoh sederhana yang sejatinya bisa dikembangkan secara lebih hebat lagi. Tapi, sudah terbayang kan betapa besarnya dampak pembelajaran yang dimulai dari afeksi?

Hanya gara-gara jagung, siswa bisa diarahkan kepada bagian-bagian pohon jagung, kegunaan jagung, fenomena aktual tentang jagung, hingga peran jagung dalam mendukung kestabilan stok pangan dalam negeri.

Secara tidak langsung, siswa sudah diajak "keliling Indonesia",belajar lintas mata pelajaran, sekaligus berpikir kritis bersama jagung. Mereka diajak untuk memandang fenomena jagung secara luas, tidak dipersempit oleh kata buku, rumus, atau malah catatan panjang di papan tulis.

Ah, andai saja kurikulum di negeri ini tidak melulu diutak-atik, barangkali peningkatan kualitas pendidikan bisa digenjot hanya dengan berawal dari afeksi.

Pertanyaan kita, apakah semua guru sudah mengajar dengan gaya, cara, dan pendekatan seperti ini?

Bagi guru yang sudah, maka lanjut dan kembangkan. Bagi guru yang belum terbiasa, mari kita pedekate. Pemerintah juga bantu fasilitasi, jangan terlalu sibuk mengutak-atik sistem pendidikan, terutama dari segi birokrasi.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun