Dari bulan Agustus hinggalah hari ini, berarti tidak terasa oleh kita bahwa usia Kurikulum Darurat sudah memasuki 4 bulan. Secara teori, waktu 4 bulan mungkin sudah cukup bagi guru dan sekolah dalam meraba sedalam apa derajat fleksibilitas kurikulum demi memenuhi kebutuhan siswa.
Satu minggu pertama ialah masa sosialisasi sekaligus pendalaman implementasi kurikulum, minggu kedua bisa diuji coba, bahkan dalam rentang satu bulan sudah bisa dievaluasi oleh sekolah maupun disdik daerah terkait.
Tapi, kenyataannya, sebanyak apa sih sekolah yang menerapkan kurikulum darurat?
Saya tak mau menebak berapa persen. Selain itu, survei tentang implementasi kurikulum dalam kondisi khusus ini juga belum ditemukan. Entah saya yang kurang cekatan dalam mencari informasi, atau malah sebaliknya.
Sebenarnya sudah mencari, sih. Tapi tak kunjung ketemu juga. Yang saya temukan hanyalah hasil dari pengawasan KPAI di bidang pendidikan yang dirilis pada awal November lalu.
Retno Listyarti selaku komisioner menerangkan bahwa sekolah tidak berani menerapkan kurikulum darurat karena dinas pendidikan tidak pernah memberikan pengarahan.
Lebih lanjut, Retno juga menambahkan bahwa kebanyakan sekolah yang ia temui masih bersandar pada kurikulum 2013 yang sejatinya kurang efektif diterapkan di tengah pandemi. Alhasil? Kemendikbud-lah yang kena sasar.
Padahal, sebagai guru, kalaulah saya boleh beropini sendiri, sederhananya seperti ini:
"Pakai kurikulum darurat, tahun depan ganti kurikulum lagi, kan?"
Faktanya, bukanlah hal yang mudah menjalin koordinasi secara intensif antara dinas pendidikan daerah, sekolah, dan Kemendikbud. Jangankan mau sosialisasi, pemerintah pusat surveinya saja hanya sesekali.