"Wah, mantap, Tuan. Saya mengapresiasi kedatangan dan keinginan mulia Tuan. Siapa tahu Kota Idaman ini bisa semakin maju."
***
"Ayah! Wah, sudah diangkat ya gulanya, aku telat, ya, Yah?"
"Hehehe. Iya, Nak. Tak mengapa. Kamu tolong cucikan tempurung untuk wadah gula aren, ya. Sebentar lagi gulanya siap dicetak."
Aku telat. Padahal aku sudah pulang sekolah tepat pada waktunya. Makanku juga cepat dan lahap, tapi ternyata aku kalah cepat dari gula aren. Dan, mereka siapa? Tegasku membatin.
"Wah, ini anak Bapak, ya. Sekarang sudah kelas berapa, Dik?"
"Kelas 2 SMP, Om," jawabku dengan malu-malu. Aku tidak kenal dengan mereka para tamu Ayah. Jarang-jarang ada orang yang rela bertamu, bahkan sampai mengunjungi ladang kami. Ini tidak biasa.
"O, ya. Begini, Pak. Maksud kedatangan kami di sini sebenarnya ingin membeli 3 kaveling ladang aren Bapak. Kami ingin membangun ruko untuk bisnis properti, kira-kira seminggu lagi."
"Maaf, Tuan. Tanah ini tidak saya jual."
Aku bergumam dalam hati sembari menghitung. Tiga kaveling ladang aren, lah, jelas itu adalah semua lahan yang keluarga kami miliki. Tidak mungkin, lah. Mana mungkin aku rela ladang aren ini dijual.
"Tenang, Pak. Kami tidak akan bayar murah, kok. Ini ada uang dua ratus lima puluh juta saya bayar di muka. Besok, lima ratus juta lagi akan saya antar ke rumah Bapak."