"Ah, sekarang kan masih pandemi. Gak perlu muluk-muluk banget deh mengondisikan pembelajaran siswa. Yang penting, mereka masih sempat belajar, sebagai bentuk laporan kepada orang tuanya."
Pernahkah kita dengar pernyataan seperti yang tertera di atas? Tentu pernah, ya. Kalau tidak terucap dari mulut seorang guru, maka ungkapan tadi sempat berseliweran di komentar warganet di media sosial.
Terus terang saja, di awal-awal datangnya pandemi hinggalah hari ini, kata "covid-19" masih menjadi sandaran sebagian orang untuk beralasan. Termasuklah di dalamnya tentang harapan terhadap suksesnya pembelajaran.
Seiring dengan diberlakukannya pembelajaran jarak jauh, harapan akan pencapaian tujuan pendidikan seakan menjadi semu sembari bertumpang pada kata "realistis".
Memang, karena kondisinya tak memungkinkan, kita tak bisa menargetkan hal yang tinggi-tinggi. Tapi, dampaknya?
Sebagai imbas dari keringanan, ada pula sebagian siswa yang enggan untuk mengerjakan tugas via daring. Gurunya sudah chat pribadi ke siswa, ternyata malah di-read saja. Padahal tugas tadi akan dimasukkan sebagai nilai PTS. Kan kita sebagai guru penanam harapan jadi sedih akhirnya.
Kenyataannya, seorang guru sangat perlu untuk terus menanamkan harapan. Apapun situasi dan bagaimanapun kondisi di lapangan, harapan yang terkait dengan kemajuan pendidikan begitu penting untuk terus digaungkan. Mengapa harapan itu penting bagi guru? Berikut alasannya:
Pertama, Harapan adalah Pembeda antara "Guru Betulan" dengan "Guru Kebetulan"
Bahkan, sebelum pandemi hadir ke dunia ini, antara "Guru Betulan" dengan "Guru Kebetulan" sudah tampak bedanya.
Guru betulan punya energi untuk mengajar, niatnya memang tulus jadi guru, serta ingin terus berbakti sebagai pendidik maupun pengajar.
Sedangkan guru kebetulan, bisa jadi mereka kebetulan lulus tes guru, kebetulan dapat lowongan sebagai guru, kebetulan ada tetangga yang butuh guru, serta berbagai jenis "kebetulan" yang lainnya.
Dari kedua jenis kategori guru ini, jelas saja harapan mereka berbeda, kan? Sepertinya begitu. Makin besar gairah dan energi seorang guru dalam mengajar, makin tinggi pula harapan yang ia sandarkan baik untuk kemajuan dirinya maupun siswanya.
Sebaliknya, makin "kebetulan" profesi seorang guru, maka makin kurang pedulilah mereka dengan harapan kemajuan pendidikan anak didiknya. Jangan-jangan, mereka masih meratapi nasib mengapa hari ini cuma jadi guru. Semoga saja tidak, ya!