Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dear Sahabatku, Inilah 4 Prinsip Utama Menanamkan Kecintaan kepada Rasulullah

29 Oktober 2020   18:56 Diperbarui: 1 November 2020   23:21 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Aku Cinta Rasulullah. Diolah dari canva/dokpri

"Wa innaka la'alaa khuluqin 'azhiim."

"Dan sungguh Engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." Begitulah arti dari Kalam Allah yang tertuang dalam Quran Surah Al-Qalam ayat 4. Rasulullah SAW benar-benar berbudi pekerti luhur karena Beliau memiliki akhlak yang Allah perintahkan dalam Al-Qur'an.

Bahkan, dalam sebuah hadis shahih, istri Rasulullah, Aisyah RA mengatakan bahwa sesungguhnya akhlak Rasulullah adalah Al-Qur'an. Berangkat dari dua dalil ini saja, sudah tidak ada satupun alasan yang bisa menolak kita untuk mencintai Nabi Muhammad SAW.

Dan alhamdulillah, saat ini kita umat muslim sudah singgah di tanggal 12 Rabiul Awal 1442 Hijriah yang bertempatan dengan tanggal kelahiran Baginda Rasul menurut pendapat yang masyhur.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, setiap kali singgah di tanggal kelahiran Rasulullah yang kemudian disebut dengan Maulid Nabi, kita selalu mencoba untuk mengambil momentum dan refleksi.

Biasanya, momentum Maulid Nabi Muhammad SAW biasa dijadikan tumpuan untuk melakukan kegiatan shalawatan bersama, zikir bersama, doa bersama, mendalami sirah Nabi bersama, hingga belajar ilmu agama bersama. Saya kira, hal ini adalah kegiatan yang sangat baik dan berpahala.

Pun di hari dan di tahun ini, kisahnya masih sama. Walaupun pandemi masih melanda, tetap saja tidak sedikitpun menyurutkan semangat kita untuk kembali mendaur ulang kecintaan kita kepada Baginda Rasulullah.

Kecintaan kepada Nabi itu adalah prinsip, kan? Mengapa harus didaur ulang derajat cintanya? Analoginya mirip seperti gelas. Tiap hari kita memakai gelas untuk minum kopi, dan tiap hari pula si gelas tadi harus dicuci.

Sama dengan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad. Cinta kepada beliau "Al-Hasyir" adalah setiap hari, setiap detik, dan setiap saat di manapun kita berada. Yang harus sering kita bersihkan adalah niatnya. Dan semoga saja niat ini tulus untuk menggapai syafaat dari Rasul di Hari Kemudian, ya. Aamiin.

Nah, permasalahannya di sini adalah, istiqomah mencintai Nabi Muhammad SAW setiap saat akan susah dilakukan bila tidak dibarengi dengan prinsip utama cinta Rasul.

Ketika peringatan Maulid Nabi tiba, ramai kita temui story WA dan postingan di media sosial tentang kecintaan terhadap Nabi. Tapi, apakah keramaian ini akan bertahan hingga sebulan? Belum tentu, kan.

Maka dari itu, dear sahabatku, rasanya kita perlu menguatkan diri dan keluarga dengan bersandar pada 4 prinsip utama penanaman kecintaan kepada Rasulullah SAW berikut ini:

Pertama, Tanamkan Kecintaan kepada Rasulullah Sejak Dini

Lebih cepat lebih baik dan lebih muda lebih gesit, agaknya prinsip inilah yang perlu tiap-tiap muslim pegang dalam menumbuhkan cinta Rasul. Kecintaan kepada Rasulullah perlu dimulai sejak dini, karena di usia dini, segenap indra manusia begitu aktif dan mudah menerima respon.

Pada webinar Pola Pertolongan Allah (PPA) yang sempat saya ikuti sebulan yang lalu, diterangkan oleh dr. Ramadhanus bahwa indra pendengaran sudah aktif ketika janin masih berumur 4 bulan.

Ilustrasi hamil. Gambar oleh StockSnap dari Pixabay 
Ilustrasi hamil. Gambar oleh StockSnap dari Pixabay 

Bukankah usia 4 bulan alias 120 hari adalah saat-saat ditiupkannya roh? Agaknya, inilah salah satu hubungan mengapa kata "pendengaran" selalu didahulukan dalam Kalam Allah.

Semisal: pada lafadz "waja'ala lakumussam'a wal abshaara wal af-idah" (Bisa ditemukan di Surah An-Nahl ayat 78 maupun Surah Al-Mulk ayat 23)

Kata al-sam'a (indra untuk menangkap suara) didahulukan daripada al-abshar (penglihatan). Berarti, seorang janin sudah mampu "diajar" walau masih berdiam di dalam rahim Bunda, kan?

Begitulah. Dan bahayanya, kalau sudah sejak dalam rahim janin diperdengarkan kata-kata kotor yang bersifat makian, jangan-jangan kata-kata tersebutlah yang akan menjadi kebiasaannya nanti!

Padahal, di saat itulah sebaiknya sahabat selaku calon orang tua menanamkan kecintaan kepada Rasulullah. Caranya? Bisa dengan sering-sering membacakan Qur'an, bershawalat, zikir, hingga mengimplementasikan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Ketika seorang anak sudah lahir juga demikian, amalan-amalan Sunnah Nabi yang seharusnya orang tua perkenalkan kepada anak. Hal ini sesuai dengan tuangan hadis riwayat Ad-Dailami tentang 3 perkara yang perlu dididik.

"Hubbi Nabiyyikum" (Mencintai Nabi), "Wa Hubbi Ahli Baitihi" (Mencintai Keluarga Nabi), "Wa Qiro'atil Qur'ani" (dan Mencintai Qur'an).

Kedua, Sampaikan dengan Adab dan Teladan Secara Kontinu

Dalam mengajar, apapun ilmu (kebaikan) yang disampaikan haruslah mengutamakan adab, begitu pula ketika orang tua ingin menanamkan kecintaan anak kepada Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah adalah idola sepanjang masa, juga teladan hidup bagi manusia. Tidak mungkin rasanya orang tua harus mengajarkan kecintaan dengan cara marah-marah bahkan memaki-maki. Tugas menanamkan kecintaan kepada Nabi bagi orang tua adalah dakwah, maka caranya harus baik.

Gus Baha (Ahmad Bahauddin Nursalim) dalam ta'limnya pernah mengatakan bahwa tiap-tiap manusia adalah budaknya kebaikan. Permasalahannya adalah, baik menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut kacamata syariat.

Perwujudannya seperti ini. Misal, ada seorang anak disuruh orang tuanya sholat dengan cara marah-marah, dan di waktu yang bersamaan, anak tadi diajak oleh temannya untuk main game ke warnet dengan biaya main ditanggung oleh temannya. Lalu, anak akan pilih mana?

Secara otomatis, anak akan milih main game ke warnet karena game itu adalah kebaikan baginya. Padahal, yang baik sebenarnya adalah sholat, kan?

Alhasil, Qur'an memberikan solusi, sampaikanlah dengan hikmah (bil hikmah), dengan perkataan yang baik (mau'izatil hasanah), juga dengan bantahan yang baik (billati hiya ahsan).

Syahdan, Ajari pula anak-anak kita mencintai Nabi dengan teladan secara kontinu. Saat di rumah, tanpa di sadari, kebiasaan anak orang tua akan ditiru oleh anak. Jadi, contohkan pula bagaimana wujud dari kecintaan kepada Nabi sembari mengajar.

Kalau kita punya cita-cita melihat anak cinta Nabi tiap hari, berarti kita juga harus memberi contoh teladan tiap hari. Agar berimbang antara harapan dan perwujudan.

Sederhananya, bagaimana mungkin anak akan terbiasa mencintai Nabi dengan sering bershalawat kalau orang tuanya tiap hari menyetel musik remix tanpa henti. Hemm

Ketiga, Jangan Setengah-Setengah Mengajarkan Kecintaan kepada Nabi

Prinsip "jangan setengah-setengah dalam mengajar" agaknya cukup krusial sekaligus mengkhawatirkan. Mengapa saya katakan demikian?

Ketika sahabat baik itu yang berstatus orang tua maupun guru menyampaikan ilmu setengah-setengah kepada anak, maka ketika itu pula anak tadi rawan berpengetahuan sempit.

Karena konteksnya di sini adalah penanaman kecintaan kepada Baginda Rasulullah SAW, maka kita contohkan saja dengan pengalaman Sunnah-Sunnah Nabi.

Misal, sahabat mengajarkan tentang gerakan sholat ala Rasulullah. Menurut berbagai hadis, pada dasarnya gerakan takbir, bacaan iftitah, hingga gaya bersedekap itu bervariasi, kan? Nah, sebisa mungkin sahabat sampaikan semuanya secara utuh.

Jika setengah-setengah, khawatirnya pemahaman si anak tadi akan sempit dan cenderung ingin menyalahkan amalan orang lain yang berbeda darinya. Bila dibiarkan lama-lama, maka ini bahaya, kan?

Tentu saja. bahkan, sampai hari ini pun masih banyak umat dari kalangan muslim yang berdebat gara-gara sebuah perbedaan. Bukannya kita rujuk dalam satu kesimpulan (kaffah), malah tercerai-berai ingin menang sendiri. (Sedih, akutuh!)

Meski demikian aturannya, kita tetap tidak bisa memungkiri fakta bahwa kadar kedalaman ilmu masing-masing sahabat berbeda. Untuk mengakali perbedaan ini, sudah kewajiban kita untuk terus menuntut ilmu minal lahdi ilal lahdi sembari menghargai perbedaan yang ada.

Keempat, Menanamkan Kecintaan kepada Rasulullah bukan Tugas Guru Agama Saja

Kebetulan saya sendiri adalah seorang guru sederhana yang mengajar mata pelajaran agama di sebuah sekolah dasar. Setelah hampir 4 tahun mengemban amanah guru, saya sering menemukan fenomena bahwa tugas-tugas keagamaan sering dibebankan oleh guru agama saja.

Semisal, ada seorang siswa yang mencuri uang temannya atau kedapatan maling rambutan di rumah tetangga. Atas kejadian ini, biasanya guru mata pelajaran lain cenderung meminta agar siswa tadi segera berhadapan dengan guru agama untuk dinasihati. Padahal, sang guru tadi juga bisa, kan?

Syahdan, ada pula kecenderungan bahwa kegiatan ibadah ala cinta Nabi sering dibanding-bandingkan antara guru agama dengan guru mata pelajaran lain. Hal ini bisa kita amati dalam contoh percakapan berikut:

"Wah, Si A puasa Sunnah, ya?"

"Wajar, kan dia guru Agama!"

"Wah, Si X banyak hafal dalil, ya. Keren!"

"Wow, padahal dia bukan guru Agama loh. Tadinya saya juga mengira bahwa dia guru Agama."

Bagaimana? Percakapan di atas sejatinya merupakan pola pikir yang salah, kan? Tentu saja, karena pada dasarnya tiap-tiap orang berhak menyampaikan perkara yang baik. Terlebih lagi jika perkara itu bermuatan tentang kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW.

Toh, yang mau masuk surga bukan guru agama saja, kan? Bahkan, guru agama pun belum tentu masuk surga. Yang jelas, meningkatkan kadar kecintaan kepada Rasulullah adalah jalan untuk menggapainya.

Terakhir, sebagai insan yang penuh dengan kesalahan, kita perlu terus dan senantiasa berbuat baik. Karena, kita tidak tahu kebaikan mana yang akan mengantarkan kita ke surga.

Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun