Oh, iya! Kemarin masa kerja Mas Mendikbud Nadiem pas satu tahun, ya. Mas Nadiem dilantik sejak 23 Oktober 2019, dan hari ini sudah tanggal 24 Oktober 2020.
Sayangnya, aku tak sempat menulis di tanggal yang tepat. Tapi, untuk refleksi kerja Mas Nadiem bersama kereta Merdeka Belajar, aku hanya bisa ucap satu kata. "Sabar!" Begitulah, baik Mas Nadiem, guru, orang tua, siswa, mahasiswa, serta kita semua harus sabar.
Terang saja, buah dari kebijakan tidaklah secepat masak mi instan. Jangankan menunggu mi instan, menunggu pisang kepok dari tunas hingga mengkal saja masih lebih cepat daripada menanti efek kebijakan.
Namun, dalam tulisan ini aku akan sedikit bercerita. Aku akan sajikan hal menarik seputar efek pandemi terhadap pendidikan, minimal menarik bagiku dahulu.
Sejak pandemi tiba, sudah tak terhitung lagi berapa kali aku berkunjung ke rumah rekan sesama guru. Apalagi setelah aku mulai aktif di dunia bisnis, rasanya tambah sering singgah, deh. Meski begitu, satu hal yang tak pernah berubah. Cerita kami masih sama, yaitu tentang dunia mengajar.
"Cak mano sistem belajar di SMP, Buk?"
Bagaimana sistem belajar di SMP, Buk?
"Cak mano sekolahmu, Bro? Berapo hari kamu sekolah?"
Bagaimana sekolahmu, Bro? Berapa hari kalian sekolah?
"La bukak sekolah tempat Bapak ngajar, Pak?"
Sudah buka sekolah tempat Bapak mengajar, Pak?
"Awie ipe keadaan anak-anak, Buk? Aseine belajea daring uyo santai, ca?"
Seperti apa keadaan anak-anak, Bu? Rasanya belajar daring sekarang ini santai, bukan?
Sejatinya pertanyaan di atas hanyalah basa-basi alias pembukaan kisah percakapanku dengan rekan sesama guru. Baik di kabupaten sendiri, kabupaten sebelah, hingga guru di provinsi, tanya dan inti percakapan kami tidaklah jauh berbeda.
Sepertinya gara-gara pandemi, guru makin peduli, ya?
Kuanggap iya, karena makin sering guru bertanya dan berkisah tentang pembelajaran, berarti mereka makin perhatian.
Biarpun apa yang dikisahkan oleh mereka adalah omelan tentang siswa yang malas buat tugas, siswa yang sering telat buat tugas, atau pun siswa yang tidak buat tugas, semuanya tetap merupakan pembahasan yang seru.
Aku sendiri pun suka ikut tertawa dan kesal ketika rekan guruku ikut mengomeli anak-anaknya. Bagaimana tidak, sikap masing-masing anak selalu unik, kan?
Bahkan, dua hari yang lalu ketika aku singgah di rumah Wakil Kepala Sekolah SMP tempat aku mengajar 3 tahun lalu, sang Wakasek sempat mengomeli sistem pembelajaran di kampus tempat anaknya kuliah.
Kata beliau, sistem pembelajaran di kampus itu plintat-plintut. Dalam satu hari ada saja sistem perkuliahan daring plus luring.
Semisal, jam 08.00-09.00 belajar sistem daring, sedangkan jam 09.00-10.00 belajar sistem luring. Sedangkan jarak dari rumah ke kampus adalah 5 Km. Jadi, bisa dibayangkan betapa bulepotannya kerjaan si anak kuliahan, kan?
Sang Wakasek bercerita bahwa ada salah satu teman dari anaknya yang ikut belajar daring sambil gosok gigi demi mengejar kuliah luring beberapa menit kemudian. Saat itu, tiba-tiba saja dari layar daring terdengar suara gayung jatuh. Sontak saja, semua penonton berburuk sangka. hahaha
Alhasil, kami terus tertawa gemulai di ruang tamu. Sebenarnya ini tertawa kasihan, ya. Bagaimana tidak, masa iya mentang-mentang pandemi, sistem belajarnya jadi suka-suka. Kan kasihan para mahasiswanya!
Di lain tempat, kisahnya juga hampir mirip. Aku juga sempat diceritakan oleh guru bahwa di sekolahnya sempat ada siswa yang mengantar tugas ke sekolah, padahal sistem yang digunakan gurunya ialah sistem daring dengan tugas juga via daring. Duh, sang siswa gagal fokus kali ya!
Ini Efek Pandemi Loh!
Kukira, ini adalah segerombol efek dari pandemi. Dulu, sewaktu negeri ini masih normal, rasanya belum pernah kutemui sejumput kisah yang beginian. Jangankan tentang kisah, tentang rekan guru yang keseringan bertanya tentang sekolah saja jarang ada. Soalnya, tiap hari masuk sekolah, kan?
Sedangkan hari ini, pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana keadaan sekolah, keadaan siswa, hingga sistem mengajar serasa berada di halaman satu penelusuran "Google-nya" para guru. sepertinya, corona punya sistem SEO yang hebat kali, ya?
Lagi-lagi, dalam suasana pandemi, kisah tentang sekolah memang seru untuk diceritakan para guru. Terang saja, baik guru yang bertanya maupun guru yang menjawab, masing-masing darinya ingin memetik hikmah serta inspirasi mengajar di tengah pandemi.
Ketahuan! Sejatinya Guru Itu Kepo dengan Sesuatu yang Beda
Lebih dari itu, sebenarnya satu hal besar yang perlu kita sadari bersama adalah, sejatinya guru itu kepo dengan sesuatu yang beda. Kukira, salah besar jika ada sebuah pandangan bahwa guru itu enggan untuk berubah ataupun malas beradaptasi.
Sebenarnya guru itu punya rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu yang baru dalam sistem mengajar. Contoh sederhana saja, misalnya guru di sekolah A mengajar dengan sistem shif per tingkatan kelas, sedangkan guru di sekolah X mengajar dengan sistem blended daring-luring.
Kedua guru ini pasti punya rasa ingin untuk mendalami bagaimana sih sistem belajar yang beda dari sekolah mereka. Lah iya, kalo sama, untuk apa dibahas, kan?
Inilah yang menjadi salah satu dasar argumenku tentang mengapa inovasi di sekolah cenderung minim. Wajar, kalau cerita di ruang temu guru melulu tentang arisan, musuh tetanggaan, serta berghibah-ghibahan, mana mungkin akan muncul inovasi!
Maka dari itulah, menurutku, sesuatu yang baru, sesuatu yang beda terutama yang menyangkut dengan sistem mengajar di tengah pandemi akan meningkatkan rasa ingin tahu, rasa perhatian, kepedulian, hingga rasa ingin bagi para guru untuk mencoba sistem pengajaran yang baru.
Kurasa, inilah berkah dari hadirnya pandemi, sekaligus setitik harapan sebagai buah dari jargon "Merdeka Belajar".
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H