Begitulah. Suasana hidup seorang santri di pesantren begitu tertata. Manajemen waktunya luar biasa. Terang saja, tiap-tiap insan di pesantren diajarkan agar terus memelihara kesehatan pikir, kesehatan jasmani, dan terutamanya adalah kesehatan rohani.
Jadi, bayangkan saja ketika sistem manajemen hidup seorang santri ini terganggu, maka kegiatan mengaji bisa jadi bolong-bolong hingga akhirnya berkuranglah keseruan hidup. Mengapa saya sebut keseruan hidup? Karena asupan rohani yang tiada putus akan menambah efek bahagia.
Masih berkisah tentang jargon "Enggak Ngaji, Enggak Seru!", berlanjut ke tahun 2016-2017, saya sempat tinggal di blok perumahan di Perawang (Riau) yang mayoritas penduduknya senang melihat anak-anak mengaji.
Waktu itu saya masih bekerja sebagai kontraktor di sebuah PT, dan blok perumahan tempat saya tinggal juga didominasi oleh orang-orang yang bekerja di karyawan PT.
Rata-rata warga di sana berasal dari perantauan, beberapa darinya mengajar di sekolah umum, tapi ternyata cita-cita anak-anak mereka adalah ingin melanjutkan sekolah di pesantren. Terus terang saja, saja takjub.
Kalau kembali melihat rutinitas anak-anak di sana dalam kesehariannya, saya jadi mengerti. Di sana, selain sekolah favorit dan terkenalnya adalah sekolah IT (Islam Terpadu), sejak dini juga sudah diwajibkan untuk mengaji baik ke MDA maupun TPA. Rasanya, mindset untuk nyantri berangkat dari sana.
Andai dulu saya jadi melanjutkan kuliah di Riau, barangkali fenomena mindset anak-anak yang sudah "naksir" untuk mengaji di pesantren ini akan saya jadikan judul tesis. Tapi sayang, takdir saya tahun ini diminta oleh Allah untuk mengabdi di Bengkulu. Mungkin lain waktu kali, ya.
Meski demikian, setidaknya saya semakin yakin bahwa sejatinya "Enggak Ngaji, Enggak Seru!".
Ketika Kemandirian dan Adab Terasah Gara-gara Sering Mengaji
Mengapa seorang anak ingin menjadi santri di pesantren? Ada tiga alasan besar yang telah saya temui dan rasakan hingga hari ini. Alasan pertama adalah kemandirian, alasan kedua adalah untuk menghaluskan budi pekerti (adab), dan alasan ketiga adalah agar si anak lebih sering mengaji.
Sekilas, barangkali alasan ini terlihat biasa saja. Tapi, tahukah Anda, ketiga alasan ini datang dari diri seorang anak itu sendiri. Motivasi untuk nyantri di pesantren timbul dari keinginan dalam diri, bahkan tanpa ada "rayuan maut" dari orang tua.
Kita langsung ke contoh saja, ya. Silakan teman-teman perhatikan foto berikut ini: